Monday, March 14, 2016

I Breathe Words. And I Eat Books.



Not literally though.. Tapi saya memang orang yang nggak bisa hidup tanpa buku. Entah sejak kapan saya suka buku, saya juga nggak ingat sih. Hanya saja saya cukup yakin influence orang tua saya yang suka membaca dan banyak membelikan buku bacaan dari kecil membuat saya suka sekali sama membaca. Mulai dari majalah Bobo, komik Donald bebek dan teman-temannya, sampai dengan buku bergambar berjudul Kisah Simi Semut (saya paling suka buku ini, jadi sampai sekarang masih ingat judulnya meskipun bukunya entah sudah pergi ke mana) dan juga kisah-kisah Nabi. Saya bukan berasal dari keluarga yang sangat berada, jadi kalau buku bacaan saya habis, saya biasanya akan mencari tempat persewaan untuk memperbanyak daftar bacaan. Sampai ketika sudah menginjak SMA, saya mulai berpikir untuk mengoleksi buku. Yes, nggak cuma baca, tapi juga koleksi. Hambatan saya waktu itu adalah uang saku yang terbatas dan harga buku yang cenderung mahal. Belum lagi saat itu saya sudah mulai mengoleksi kaset lagu dari musisi yang saya sukai. Jadi jalan satu-satunya yang bisa dilakukan selain menyewa dan meminjam buku dari perpustakaan adalah menabung. Saya masih ingat, buat beli satu buku Harry Potter saja saya harus nabung hampir dua bulan.

Setelah fase sekolah terlewati, masuk fase kuliah. Di fase ini, uang saku sedikit bertambah. Dan karena saya cukup beruntung mendapatkan beasiswa dan orang tua tetap keukeuh mau membiayai kuliah saya, berarti uang beasiswa yang saya dapatkan bisa ditabung untuk membeli barang dan kebutuhan sekunder. Selain gadget, saya mengalokasikan tabungan saya lagi-lagi untuk membeli buku. Dan semakin bertambah lah koleksi buku saya, sampai-sampai Bapak dan Ibu di rumah terheran-heran kenapa saya hobi sekali membeli buku padahal sudah jelas kamar saya nggak ada space lagi untuk menyimpannya. Tapi yang namanya hobi, siapa sih yang bisa melarang? Toh membelinya juga pakai uang saya sendiri. Dan saat saya sudah bekerja pun, saya semakin bahagia karena saya bisa mengalokasikan gaji saya per bulan untuk beli buku. Dan bukannya semakin surut, kebiasaan saya yang satu ini malah semakin menjadi-jadi.

Apa sih enaknya beli buku? Banyak teman sekantor saya yang bertanya demikian. Mereka beranggapan bahwa membeli buku itu “useless”, apalagi ketika saya bisa meminjam buku yang sama dari orang lain. Bahkan tidak jarang dari mereka yang merasa bahwa akan lebih baik jika uangnya dibelikan makanan. Tapi menurut saya, membeli buku = investasi. Saya lebih royal menghabiskan uang untuk beli buku daripada membeli makanan yang sekali makan langsung habis.  Saya lebih suka pergi ke toko buku daripada wisata kuliner ke tempat-tempat yang menyajikan aneka hidangan baru yang sekarang sudah semakin aneh-aneh jenis dan namanya. Dan saya lebih sering menunggu paket kiriman buku daripada baju atau tas atau sepatu dan barang-barang lainnya. Bukan berarti saya tidak suka makan atau belanja barang, tapi kalo ditelusuri, “Achilles heel” saya adalah “buku”. Ke mall, yang disambangin pertama kali toko buku. Ke bandara juga begitu. Saking seringnya beli, beberapa bulan sekali, saya bisa mengirimkan satu kardus koleksi buku saya yang sudah dibaca dari kosan ke rumah saya di Jogja supaya ke depannya masih ada space buat saya menyimpan buku di kamar rantauan yang space-nya mepet itu.
Saya suka excitement-nya membuka buku baru yang masih dibungkus plastik (dengan wangi khasnya yang tidak tergantikan itu), menelusuri cover dan kertasnya dengan tangan saya; merasakan teksturnya serta menemukan jawaban apakah material cover-nya sesuai dengan prediksi saya. Dan saya orang yang sangat menyayangi buku-buku yang saya beli sampai-sampai setiap orang yang akan meminjam akan saya “kuliahi” terlebih dahulu dengan hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mereka meminjam buku saya, termasuk aturan yang saya terapkan sendiri dimana buku saya hanya boleh dipinjam ketika saya sudah selesai membaca atau minimal sudah saya beli selama 1-2 bulan. Crazy, right? But that’s how much I love my books. Well, lebih tepatnya protektif.

Saya punya bayangan yang agak gila untuk mewariskan buku-buku yang saya miliki kepada anak saya kelak. Selain keinginan untuk memiliki perpustakaan pribadi suatu hari nanti, saya merasa bahwa bisa jadi ketika nanti anak saya sudah besar (katakanlah), pasti akan ada buku-buku yang sudah tidak ada diproduksi lagi (atau sudah sangat langka). Kalau saya punya, pasti bakalan jadi surga buat mereka. Dan yang paling keren, mereka bisa meneruskan koleksi bukunya dari tahun ke tahun, yang nantinya akan semakin banyak dan semakin banyak. How cool is that? :D

Dengan akses internet yang sangat gampang jaman sekarang, saya juga lebih suka memesan buku secara online. Karena disamping saya tidak ada waktu banyak untuk survey langsung ke toko buku, membeli buku secara online memiliki banyak nilai plus, termasuk banyak diskon yang ditawarkan. Dan selain buku konvensional yang berwujud buku, saya juga suka membaca buku dalam bentuk digital. Bahkan akhir-akhir ini malah sering menghabiskan waktu membaca e-book dibandingkan dengan buku normal. Kenapa? Apakah saya beralih ke e-book karena lebih murah? Enggak juga sih.. Lebih karena kepraktisannya saja. Selain bisa baca buku dimana pun dan kapan pun lewat HP, akan kesulitan buat saya menenteng buku kemana-mana karena mostly buku yang saya baca berupa novel yang cenderung tebal. Bahkan terkadang kalau saya sudah membeli versi hard copy-nya, saya akan mencari versi e-booknya supaya sewaktu-waktu bisa dibaca. Dan kadang kebalikannya, kalau saya baca e-book dan suka banget sama ceritanya, saya akan pastikan untuk membeli versi hard copy-nya. Atau bisa jadi malah beli dua versi hard copy; bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ini termasuk perilaku yang kata teman-teman saya sudah lebay.
Tapi pada akhirnya hal inilah yang membuat saya menjadi hoarder; kebiasaan untuk membaca buku hard-copy maupun e-book. Kenapa? Karena to-be-read saya jadi semakin banyak. Sedangkan saya yang masih menjadi kuli kantor ini suka susah mendapatkan waktu luang untuk membaca. Belum nanti membagi waktu luang antara membaca dengan menonton film atau series favorit saya. Rasanya saya jadi seperti pengemis waktu yang nggak terima kalau sehari hanya ada 24 jam. Terkadang pulang kantor pun kalau sudah capek rasanya sayang banget kalau langsung tidur, jadi pada akhirnya harus memanfaatkan waktu untuk bisa lebih produktif.

Isn’t it exhausting? 
Not really.. Karena saat saya membaca, saya akan lupa masalah yang saya alami, apalagi kalau saya suka banget sama bukunya. Buku adalah sarana saya belajar untuk lebih berempati terhadap semua karakter (mau baik, jahat, grey area, semuanya lah). Saya bisa melihat pola pikir mereka dan karena background pendidikan (dan pekerjaan) saya adalah psikologi, hal ini menjadi sangat membantu, terutama untuk bisa lebih memahami latar belakang perilaku dan alasan mengapa seseorang melakukan hal tertentu. Sering kok saya sesenggukan habis menyelesaikan satu buku saking menghayatinya, bahkan bisa terdiam bermenit-menit cuma mikirin cerita/endingnya. Pernah juga saya merasa muak dengan karakter yang penjadi penutur cerita bukunya sampai-sampai saya berpikir pengen stop baca dan lanjut ke buku lain, tapi akhirnya saya teruskan (saking kerennya si pengarang membuat tokohnya sangat dislikeable). Buku juga media yang sangat perfect untuk mencoba menjadi orang lain (ya, alasan utama saya cinta sekali dengan buku); karena buku adalah escapism saya, dan setiap selesai membaca satu buku, saya merasa menjadi setidaknya 1% lebih komplit dari sebelum saya membaca buku itu, terutama karena saya serasa mendapatkan pengalaman baru. Belum lagi fakta bahwa dengan membaca apapun saya bisa mendapatkan informasi yang berguna, meskipun terkesan remeh temeh sekalipun. Trust me, I’ve been there. Hal ini terkesan sangat cliché tapi pada faktanya memang benar begitu. Sering saya menemukan pertanyaan, pernyataan, argument, atau hal lainnya yang membuat otak saya merefer ke buku tertentu dan informasi “tidak penting” di dalamnya yang sesuai dengan topik yang dimaksud. Dan ketika saya tahu hal itu sedangkan orang lain tidak, rasanya seperti menjadi orang terkeren (saat itu).

Jadi, saya suka heran dengan orang yang sama sekali nggak suka membaca. Tapi memang tipe orang beda-beda sih ya.. Yang penting saya bersyukur bisa menjadi orang yang mengapresiasi dan menikmati kegiatan “membaca” seperti bernafas. Effortless dan natural. Oke, kecuali textbook tapi.. XD

Thursday, December 31, 2015

Renungan Singkat di Akhir Tahun

Ya.. Ya.. Saya memang hampir bisa dibilang blogger murtad gara-gara kelamaan nggak nulis di blog. Tapi di penghujung tahun ini, saya jadi kepikiran sesuatu. 

Masalah hidup dan pekerjaan.
Ya, ketika dulu menjadi mahasiswa, saya nggak berpikir saya akan bekerja di bidang yang saya tekuni sekarang. Saya bahkan sama sekali tidak menyangka saya bakal terjun ke dunia PIO. Tapi nyatanya, jalan yang saya hadapi saat ini berkata demikian. Jauh berbeda dengan idealisme saya semasa kuliah dulu dimana saya "sukanya" adalah mata kuliah yang berbau klinis dan sosial. Sisanya? Nggak mbakat rasanya waktu itu. Terbukti juga dari nilai makul Pendidikan dan PIO yang cenderung di bawah yang lain. *sighs
Tapi toh sekarang apabila saya diminta masuk ke ranah klinis, saya malah bakalan kelimpungan. Bukan apa-apa, beberapa tahun mencoba mengenal diri sendiri dengan lebih dalam, saya tahu saya bukan orang yang sabaran. Dan saya bukan orang yang pas buat mencurahkan perhatian seperti di klinis. Mungkin kalo saya masuk Psikologi Klinis, saya bisa stress (walaupun belum bisa dibuktikan juga sih, soalnya kan belum pernah menjalani).

Empat tahun menjadi asesor adalah perjalanan yang seperti roller coaster buat saya. Saya masih ingat waktu pertama kali masuk kerja, saya bener-bener nggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan presentasi aja deg-degannya minta ampun di depan bos-bos saya. Saya masih cupu-cupunya. Masih kurang PD, nggak ngerti apa-apa, dan apa yang saya punya di kepala hanya teori yang bahkan kalau diminta mengaplikasikan pun saya bakalan kelabakan. Gimana enggak? Praktikum yang saya lakukan itu jauh sangat berbeda dengan tuntutan di kantor. Dari titik awal itu saya digembleng, diajari langkah-langkahnya menjadi asesor dari nol, dari mulai prinsip melakukan observasi, interview, skoring, praktek interview (yang astaghfirullah panjang sekali tahapannya supaya bisa menjadi interviewer yang maknyus di competency based), dan akhirnya diarahkan pelan-pelan menjadi PIC proyek yang langsung berhubungan dengan klien dan bertanggung jawab sama prosesnya dari awal sampai akhir. 
Ada momen-momen "saya rasanya gila" di situ. Ada momen-momen burn-out karena saking numpuknya pekerjaan dan sedikitnya orang, rasanya ini kepala dan badan mau rontok dan tidak sanggup bertahan. Setiap hari ada proses pembelajaran dan pencarian pengalaman. Setiap komunikasi yang saya lakukan dengan klien adalah langkah saya untuk belajar dan mencermati apa yang harus saya lakukan di situasi-situasi tertentu. Ya, pengalaman itu nggak bisa bohong. Pengalaman adalah titik dimana kita bisa tahu kalau klien nanya ini jawabannya apa, atau kalau mereka bargain seperti ini kira-kira apa yang harus kita tawarkan, dll. Dan saya juga bisa merasakan bedanya; dulu yang awalnya saya culun banget sampai-sampai semua langkah harus dikonfirmasikan dan dikoreksi si bos dulu, sampai sekarang yang kewenangan hampir selalu diberikan ke saya untuk proyek-proyek sendiri, asal laporan. 

Ada nggak sih kebosanan? 
Jelas ada. Apalagi di perusahaan consulting seperti tempat saya bekerja, career path saya tidak mungkin akan berjalan lebih jauh seperti di perusahaan kantoran lain yang strukturnya lebih luas dan jelas (meskipun secara jobdesc kerjaan saya bisa jadi bertambah dan berkembang dari waktu ke waktu). Ini yang masih saya coba cari, ke mana saya mau jalan? Nggak mungkin saya jalan di tempat. Nggak mungkin ada yang mau seperti itu. Tapi bukan berarti saya langsung akan lari tanpa arah dan tujuan kan?
Saya bukan orang yang suka pindah-pindah pekerjaan sebenarnya. Meskipun saya orangnya bosenan, tapi saya juga ada tendensi untuk berada dalam comfort zone di waktu-waktu tertentu. Dan ini juga karakter dalam diri saya yang ingin saya rubah. Saya mau lebih berani mengambil resiko. Saya nggak mau jadi so-so dan cenderung melakukan hal yang sama berulang-ulang. Untuk orang yang bisa berempati dengan character differences masing-masing orang, saya harus akui saya mendapatkan challenge tersendiri untuk hal yang satu ini. Dan yang pasti, saya masih punya keinginan untuk belajar terus. Karena otak saya masih setengah kopong dan belum ada apa-apanya.

Di penghujung tahun ini, keinginan saya nggak muluk-muluk. Saya nggak niat bikin resolusi sih, saya cuma ingin kualitas hidup saya meningkat di tahun depan. Bisa dari mimpi saya yang pada akhirnya kesampaian, atau aktualisasi diri yang bisa terpenuhi dalam hal karir dan kehidupan pribadi saya. Intinya, saya ingin menjadi orang yang bahagia. Nggak usah jadi orang paling kaya atau paling sukses lah.. Tapi ketika saya melihat orang lain (contohnya teman) yang hidupnya keliatan keren dan merasa tidak ingin bertukar tempat dengan mereka, saat itulah saya bisa menyatakan bahwa saya bahagia. Sulit kah? Semoga tidak. Dan semoga impian saya pelan-pelan akan tercapai tahun depan dan dimudahkan jalannya. Bismillah.. 

Happy New Year, everyone! And 2016, here I come~ :)


Saturday, September 12, 2015

(I Want To) Make A Memory

Keputusan untuk menonton Bon Jovi tanggal 11 September ini langsung terbesit di kepala setelah saya liat iklannya di internet. Bayangan Jon Bon Jovi bikin saya jadi semangat dan niat nonton. Dan akhirnya, setelah berhasil mempengaruhi teman saya untuk nonton, kami rencanakan pembelian tiketnya pada hari-H penjualannya dimulai.
Agak susah sih waktu itu nyarinya. Karena ternyata dari opsi penjual tiket resminya, tidak ada nama supplier tiket yang sudah biasa saya pakai jasanya. Akhirnya, setelah kami berdua bahu-membahu dan saling memberikan informasi, dapatlah info yang lebih lengkap termasuk harga akhir tiket setelah pajak. And who knows it would be much more expensive than I thought? -_- Pajak tiket yang biasanya cuma 10% naik jadi 15%. Tapi sudahlah.. demi Om Jon dkk.
Sebenarnya selain pengen liat frontman-nya ini, saya juga pengen banget liat Richie Sambora. Dari dulu dua orang ini merupakan definisi pribadi saya untuk bromance di panggung. Nggak tau kenapa, mereka keliatan klop banget kalau sudah beraksi. Bahkan ada kesan inseparable. Lha kok, setelah saya sudah dapat tiket, saya malah baru tahu kalau Om Richie sudah mundur dari band ini. Pupus deh harapan saya lihat bromance mereka di panggung. Hiks..

Anyway, mumpung masih agak fresh di kepala, saya akan coba jabarkan apa yang terjadi selama konser. Mungkin biar lebih beralur, saya ceritakan dari awal saya berangkat.

Jadi, saya berangkat dari kosan sekitar jam 3. Niatnya. Tapi apa daya harus mundur karena berkali-kali saya coba order Go-jek, eh.. nggak dapet-dapet sinyalnya. Padahal saya sampai keluar rumah dan ngangkat-ngangkat hape di pinggir jalan kayak orang nggak jelas, berharap koneksi ada. Setelah setengah jam berlalu tanpa hasil, akhirnya saya memutuskan naik taksi. Pertimbangannya adalah karena pintu/gate masuk yang saya tuju belum pernah saya masuki sebelumnya. Kan kalau naksi dan driver-nya nggak tau ada GPS yang bisa membantu. Oh, fyi, karena konser ini penontonnya banyak pake banget-banget, jadi ada pembagian pintu masuk untuk pemegang tiket. Kebetulan saya waktu itu beli tiketnya di posisi Lower Tribune Left (LTL), jadi saya masuknya lewat Pintu Utara, yang deket sama TVRI. Pas nyari taksi pun sebenernya susah banget. Dan ketika dapat, meskipun armadanya bukan yang biasa saya naikin dan bukan favorit saya, saya relakan saja karena sudah sangat mepet. Untungnya masnya orangnya sangat ramah. Dan ketika saya bilang saya mau ke GBK, dia langsung nodong dan nanya apa saya mau nonton Bon Jovi. Wkwk
Anyway, saya nggak tau kenapa tapi sejauh ini, banyak banget orang yang kalau saya ajak ngobrol atau sebaliknya, mereka ada tendensi untuk curhat, termasuk driver yang nganterin saya ini. Setelah saya ditanya-tanyain sama dia dan dia tau kalau saya lulusan psikologi, saya langsung dicurhatin tentang masalah dengan mantan kekasihnya. Sempet mbatin kenapa ujug-ujug jadi curcol begitu, dan saya sempat niat bilang ke masnya, karena saya udah buka sesi konseling gratis ke dia, harusnya taksinya digratisin. Tapi apa daya.. nggak tega. *sighs*
Dan benar saja, jalanan udah mulai macet, terutama yang ke arah Senayan. Untungnya masnya jago cari jalan, termasuk lebih banyak nyari yang arah arus sebaliknya supaya nggak terlalu macet. Jadilah jam 4-an saya sudah di lokasi. Dan sebelum turun, sempat-sempatnya si supir taksi ini bilang supaya salamnya disampaikan ke Bon Jovi dan kalau boleh minta rekamannya aja. Halah..
Pas turun dari taksi dan mau nyebrang pun susah karena mobil-mobil sudah pada antri masuk dan jalanan padat sekali. Dan sampai lokasi, sudah banyak orang yang mau nonton dan bahkan dimana-mana banyak sekali yang jualan merch berbau Bon Jovi (KW pastinya), mulai dari kaos dengan tulisan macem-macem (termasuk ada yang bergambar sablonan foto personilnya), syal, masker, sampai kipas yang ada logo Bon Jovi di satu sisi dan di sisi lainnya ada gambarnya om Jon waktu masih muda. Cakep banget beneran! *salah fokus* Kadang kalau liat pengen beli sih, cuma untungnya kemarin saya masih bisa berpikir rasional dan menahan keinginan impulsif itu, terutama karena saya bukan fans fanatik yang harus punya merchandise dan segala macamnya. Kalaupun mau beli, rasanya lebih baik membeli yang asli (tapi akhirnya nggak jadi juga sih.. :p).

Karena saya masih harus menunggu teman saya sampai, saya pilih satu spot di pojokan sebelum gerbang masuk area stadion utama dan menunggu di situ. Bisa dibilang itu semacam tempat nongkrong dan banyak juga orang jualan. Tapi minusnya adalah.. dimana-mana orang pada  ngerokok (jeleknya show yang disponsori rokok juga nih), jadi mau madep kanan, kiri, depan, apa belakang, selalu aja ada asap rokok yang melayang ke muka saya. Dan orang-orang ini bukan orang-orang sensitif yang saya batuk-batuk dikit mereka langsung ngerasa. Saking parahnya, malah ada yang menghembuskan asap rokoknya ke muka saya. Woalah, pak.. Kalau mau mati ya silahkan, tapi nggak usah ajak-ajak, please.. -..-
Dan dari informasi teman saya jalanan sangat macet, terutama yang ke arah Senayan (stuck banget!), sampai-sampai jam 5 lebih dia belum sampai juga. Bahkan katanya tukang ojek yang nganterin dia pun sampai kehabisan bensin saking macetnya. Ckck. Saya sendiri udah kayak cacing kena garam yang semakin sore semakin gelisah karena sudah banyak orang yang masuk gerbang menuju stadion dan ngantri ke dalam. I mean, saya pengen banget dapat spot yang bagus, tapi mau nggak mau harus nunggu karena nggak asik juga kalau nanti saya harus menghabiskan waktu sendirian selama konser. Cengok banget kayaknya, jadi ya dibela-belain nunggu, biar ada temennya.
Setelah teman saya sampai, kami langsung menuju gate untuk masuk area stadion. Bisa dibilang penjagaan ketat. Bahkan sebelum masuk, kami benar-benar diperiksa bawa makanan sama minuman apa enggak. Karena di tas saya ada dua buah roti dan sebotol air mineral, kami akhirnya memutuskan untuk makan dulu (sambil ngisi perut ceritanya) dan menghabiskan minum sebelum masuk. Setelah lolos, tiket kami di-scan barcode-nya, untuk ngecek apakah sudah ada yang menggunakan kode itu. Baru saya tau pas sampai rumah kalau ternyata banyak banget kasus tiket palsu dan barcode yang tidak terdeteksi keasliannya. Bahkan kerugiannya bisa sampai 450 juta dan pake acara njebolin gerbang juga gara-gara mereka nggak boleh masuk. Hmm.. Ada-ada aja ya..

Di dalam pun, line antriannya banyak. Kami harus memastikan berkali-kali kalau kami antri di tempat yang benar. Untungnya antrian untuk LTL tidak sepanjang antrian Festival. Jadi kami langsung lari nyari spot duduk yang oke. Pas masuk area tribun, kami agak shock karena kami ternyata dapatnya yang bener-bener di area kiri (padahalnya ngarepnya yang masih agak di tengah). Apalagi di bagian depan tribun yang ini, pandangan kami tertutup teralis besi yang cukup annoying. Kami sempat melirik ke arah tribun sebelah kanan kami yang sudah hampir penuh, dan karena penasaran kami tanya apa itu masih area LTL atau sudah VIP. Dan jawabannya ternyata LTL. Akhirnya kami minta masnya yang kami tanya supaya nge-tag-in tempat buat kami dan kami langsung lari keluar dari area yang itu dan masuk area sebelah demi mendapatkan spot oke. Worth it banget tapi. Viewnya lebih mendingan daripada yang sebelumnya.

Konser dimulai jam 7 malam. Penyanyi pembukanya adalah Sam Tsui. Saya sebenernya belum pernah denger nama Sam Tsui sebelum ini. Tapi kata temen saya, dia ini basically adalah YouTuber yang banyak meng-cover lagu-lagu populer dan sudah punya album sendiri juga. Saya sih berharap sebenarnya dia banyak nyanyiin lagu cover-an aja biar saya bisa sing-along. Tapi apa daya, si Sam ternyata banyak menyanyikan lagunya sendiri. Jadi saya akhirnya cuma bisa goyang-goyang sambil ngikutin beat. Suaranya sih oke juga, dan penampilannya bikin saya inget sama Adam Lambert. Tapi karena saya bukan penggemar genre music yang dia nyanyikan ya jadinya buat saya masih biasa aja. Setelah sekitar 45 menit, sesi Sam Tsui selesai. Setelah itu, tiba-tiba terdengar suara Judika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua penonton langsung berdiri dan ikut menyanyi dengan khidmat.
Setelah lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, crew-crewnya Bon Jovi langsung pada keluar dan ngangkut-ngangkutin barang (Mulai dari gitar, drums, sound system, segala macem lah. Sampai soundcheck juga) diiringi backsound lagu rock jaman dulu yang saya juga nggak tau itu yang nyanyi siapa. Tapi mas di belakang saya ikut nyanyi-nyanyi sih, jadi mungkin saya yang nggak gaul. Cukup lama kami nungguin, sampai berasa ngantuk karena nggak mulai-mulai. Dan akhirnya, hampir setengah 9, lighting di panggung berubah warna menjadi biru dan sorak penonton pecah. Ya, konsernya dimulai.

Tidak ada instrumental pembuka sebelum dimulai. Tau-tau suara Om Jon terdengar dan mukanya terpampang di layar. Saya dan teman saya langsung jejeritan dan tak henti-hentinya kami nyebut karena memang sumpah, dia cakep sekali! O.O *memang kami salah fokus kadang-kadang tapi ya mau gimana lagi* Sound system-nya mantep banget! Suaranya sangat menggelegar dan atmosfer-nya masya Allah banget. Pokoknya perfect deh ah.
Lagu pembukanya adalah That’s What the Water Made Me. Lalu langsung diikuti Who Says You Can’t Go Home sama Lost Highway sebelum akhirnya Om Jon nyapa penonton pakai bahasa Indonesia. Btw, rambutnya si om terlihat sudah semakin memutih. Ya iya sih, umurnya aja udah 53 tahun. Tapi nggak papa Om, saya tetap cinta padamu.. *kenapa jadi labil begini? -_- *
Anyway, saya harus jujur kalau saya nggak 100% hafal semua lagu yang dinyanyikan di konser ini. Dari total 20 lagu, mostly saya tau, tapi ya kadang tau liriknya kadang enggak. Tapi masih bisa enjoy sih. Dan bisa dibilang saya salah satu orang yang paling heboh di barisan saya. Orang-orang di sebelah, belakang, dan depan saya persis sangat anteng. Sepanjang show mereka duduk (meskipun kalo teriak tetap dilakukan). Dan di beberapa lagu, biasanya setelah dengar intro dan sadar kalau lagu yang dimainin adalah lagu favorit saya, saya bakal langsung berdiri dan tepuk tangan, ngangkat tangan, atau jingkrak-jingkrak sepuasnya. Pokoknya heboh banget. Nggak tau deh penonton belakang saya keganggu apa enggak. Semoga enggak sih ya.. Ini kan konser. Having fun is a must! :p
Oh iya, di awal konser, saya sempet ditakut-takutin sama temen saya. Intinya, dia bilang kalau kemungkinan salah satu lagu yang saya sukai (Because We Can) nggak akan dimainin karena kurang populer dibandingin yang lain. Apalagi itu termasuk lagu baru. Saya sih sempat nggak rela dan berharap bisa dengerin lagu itu live. Tapi lama-lama agak pupus harapannya, terutama karena beberapa lagu yang populer pun nggak dimainkan. Tapi pas di lagu entah ke berapa (saya lupa) mereka memainkan intronya, dan seketika saya langsung jejeritan kayak orang gila karena seneng banget lagunya dimainin. Sebelah saya sampai kaget kayaknya. Dan sudah bisa ditebak, saya yang paling semangat nyanyinya.. =D

Full Setlist
1. That's What the Water Made Me
2. Who Says You Can't Go Home
3. Lost Highway
4. Raise Your Hands
5. You Give Love a Bad Name
6. Born to Be My Baby
7. We Don't Run
8. It's My Life
9. Because We Can
10. Someday I'll Be Saturday Night
11. What About Now
12. We Got It Goin' On
13. In These Arms
14. Wanted Dead or Alive
15. I'll Sleep When I'm Dead
16. Keep the Faith
17. Bad Medicine

Encore:
18. Runaway
19. Have a Nice Day
20. Livin' on a Prayer


Suara Om Jon powerful banget. Dari awal sampai akhir nggak terdengar berubah. Mungkin karena sudah biasa manggung dengan durasi lama berpuluh-puluh tahun lamanya, makanya jadi perfect gitu performance-nya. Saya juga suka liat aksinya di panggung yang tau-tau melakukan goyangan khas dia banget. Bikin ngakak tapi juga sangat menghibur. Di beberapa lagu, bahkan terlihat sekali koneksi antara band dengan penonton. Di lagu Wanted Dead or Alive, dari awal penonton disuruh nyanyi sampai verse pertama selesai, dan dia diem aja gitu, sambil mukanya keliatan tersentuh dan bahagia banget. Di lagu Raise Your Hands, kami semua juga diminta ngangkat tangan (sambil sedikit di lambai-lambaikan, khas banget gayanya Bon Jovi). Bahkan di beberapa lagu, refrain bagian terakhir sengaja dilama-lamain sampai penontonnya pun nyanyinya ngos-ngosan karena sambil teriak histeris. Dan yang cukup seru, mereka sempat menyanyikan lagu baru dari album yang dirilis tahun ini, judulnya We Don’t Run. Bisa dibilang lagu ini pertama kali dimainkan live di Jakarta. Jadi berasa sangat spesial juga. Dari album yang paling baru, saya sama temen saya emang paling seneng lagu yang ini, karena terdengar sangat powerful dan cocok buat menggerakkan massa.

Yang bikin penonton geger jelas single-single yang paling digemari di sini. Pertama kali stadion pecah adalah waktu mereka nyanyiin You Give Love A Bad Name. Itu pertama kalinya saya langsung loncat berdiri dan jingkrak-jingkrak. Selanjutnya, jelas It’s My Life. Pas lagu ini, stadion rasanya bergetar karena koor-nya loud banget. Dan ending-nya, sukaaaaaaaa banget! Mereka nyanyiin Bad Medicine yang juga saya tunggu-tunggu dari awal. Sebenernya udah ada feeling mereka bakal menutup konser dengan lagu yang menggelegar, dan sempat menduga Bad Medicine yang bakal dinyanyiin karena It’s My Life udah dinyanyiin. Dan ternyata benar.. :3 *berasa cenayang* Yang jelas, lagu Bad Medicine jadi lama banget karena di belakangnya mereka tambahin refrain berkali-kali sampe gempor deh nyanyinya. wkwk
Selesai lagu ke-17, panggung gelap dan semua yang nonton langsung serempak teriak “we want more!” ß kalau konser kayaknya nggak mungkin nggak ada ini. Dan akhirnya, nggak berapa lama kemudian, Om Jon nongol lagi di layar, dan sudah berganti baju. Yang tadinya vest atau semacam sleeveless leather jacket warna hitam berubah menjadi kaos biru dan jaket kulit hitam. Saya sama temen saya langsung salah fokus lagi dan berkali-kali nyebut nama Gusti Allah saking cakepnya Om Jon ini. Bahkan saya sampe ngunyel-unyel teman saya karena gemes banget dan si subjek yang sebenarnya tidak berada dalam jangkauan. Saya harus bilang kalau cakepnya Om Jon ini tidak bisa dijustifikasi lewat foto. Sumpah aslinya beneran cakep banget. Bahkan dari layar pun keliatan cakep banget. Apalagi kalau liat langsung coba?
Anyway, mereka langsung mainin Runaway, dan yang tidak terduga, setelah itu mereka melanjutkan dengan Have A Nice Day. Di sini saya juga all out. Jingkrak-jingkrak dan teriak-teriak sejadi-jadinya. Habis itu, kami nebak lagu apa lagi yang mau dimainin. Saya sempat bilang ke teman saya kalau mereka belum mainin Livin’ on A Prayer, jadi harusnya itu. Tapi eh tapi.. Om Jon tau-tau nongol sambil bawa gitar akustik dan mainin nada slow. Saya bingung ini lagu apa. Always? Tapi ternyata oh ternyata.. ini Livin’ on A Prayer versi akustik. Praktis semua yang nonton ikut nyanyi hanya diiringi dengan gitar akustik sampai saya rasanya merinding. Dan semakin lama versinya semakin keras sampai akhirnya keluar versi aslinya. Saya jejingkrakan lagi. Dan di ujung lagu ini, suara yang nonton mencapai desibel maksimal yang bisa dibayangkan. Apalagi kan nada lagu ini makin lama makin tinggi. Kelar nyanyi rasanya nafas habis, suara udah serak, tapi happy-nya maksimal juga. Habis itu udah. Selesai. Mereka salaman satu sama lain dan dadah-dadah. Nggak mungkin ditambahin lagi kalau udah begini.

credit: Bon Jovi's twitter account

credit: Bon Jovi's twitter account

Sumpah saya puas! Sukaaaaaaaa banget! Rasanya ini konser terkeren yang pernah saya tonton. Saya cuma menyesali dua hal; saya pengen lebih dekat dengan Om Jon (di tribun kejauhan Om, but I’m still not complaining), dan saya juga pengen mereka mbawain lagu Thank You for Loving Me sama All About Lovin’ You. Yah.. Maybe next time.
Oh. Dan meskipun dari tadi saya banyak histeris karena Jon Bon Jovi, secara keseluruhan Bon Jovi ini kalau diibaratkan makanan sangat maknyus. Meskipun nggak ada Om Richie, gitaris penggantinya (kalau nggak salah namanya Phil X) juga mainnya keren banget. Banyak riff-riff gitar yang bikin penonton langsung pada jejeritan saking kerennya. Drumming-nya pun mantep pake banget-banget sampai teman saya sempet heran apa drummer-nya nggak pegel mainnya. Keyboard? Jangan ditanya. Om David mainnya mantep. Pokoknya secara keseluruhan mereka keren sekali. Dan setelah tadi malam, saya bilang ke diri sendiri kalau besok-besok ada kesempatan nonton mereka lagi, saya pasti datang.

Okay. That’s it! Meskipun konser ini bukan konser paling gila yang pernah saya alami (physically and mentally), tapi dari semua sisi (konsep dan eksekusinya) ini yang paling amazing. Dan sampai sekarang pun saya masih nggak bisa move on. Playlist saya masih dipenuhi lagu-lagu Bon Jovi. Doa saya cuma satu; semoga mereka masih akan terus berkarya sampai berpuluh-puluh tahun lagi dan saya bisa nostalgia lagi dengan mereka.. :D


Thursday, September 10, 2015

Because I love "fantasy" too much

Frekuensi saya menulis blog kayaknya sudah dalam tahapan kritis. Saya baru sadar tahun ini saya cuma berhasil nulis satu postingan. Duh.. 
Rasanya pengen sebenarnya menulis hal lain selain nyeritain buku. Namun apa daya, saya lagi lebih bersemangat nulis review buku daripada yang lain, so.. bear with me, please.. 

Baru saja saya menyelesaikan satu buku karangan David Levithan yang judulnya Every Day, dan saya langsung pengen membahas buku ini. I'm excited! Kenapa? Karena temanya yang nggak biasa.




First of all, saya harus bilang kalau saya beli buku ini dengan situasi yang sangat accidental rasanya. Waktu nge-mall, mampir ke toko buku favorit saya, dan saya niat banget sebenernya beli The Book Thief. Terlepas dari filmnya yang sudah saya tonton (dan saya suka banget), rasanya pengen aja beli bukunya dan baca. Karena buat saya, semenarik apapun filmnya, buku adalah sumber informasi yang lebih kaya. Eh, tapi.. pas saya udah mau bayar bukunya, tiba-tiba di depan saya nongol sampul buku Every Day dengan tagline-nya yang waow banget, 

"Every day a different body,
Every day a different life, 
Every day in love with the same girl."

Bayangan saya waktu itu, "buset.. kok ngenes banget hidupnya orang ini". Dan saya mencoba mencari-cari cerita yang mirip, dan ternyata saya belum menemukannya. Akhirnya setelah gamang selama beberapa saat, teman saya menyarankan supaya saya beli bukunya David Levithan ini. Sebelumnya, saya kurang familiar dengan karya-karyanya. Saya juga baru tahu kalau dia bikin buku bareng John Green yang judulnya "Will Grayson, Will Grayson". Tapi udah, itu aja. Dasarnya saya nggak mbaca John Green juga sih, jadi ya begitulah..

Anyway, pas baca halaman-halaman pertama, rasanya sudah menarik banget. Saya nggak bisa lepas dari itu buku. Ceritanya sendiri terkait seorang being (saya bilang being karena saya belum bisa menyimpulkan sebenarnya tokoh utamanya itu apa) bernama A yang dari lahir, hidupnya berpindah dari satu manusia ke manusia lain. Setiap hari dia akan terbangun di tubuh yang berbeda. Bisa dibilang kayak host mungkin. Ia juga hanya bisa hinggap sekali untuk satu tubuh. Jadi nggak mungkin dia jadi orang yang sama dua kali. Selain itu, si A ini cuma bisa masuk ke tubuh orang yang umurnya sama dengan dia. Di novel, diceritakan bahwa A berumur 16 tahun, jadi ya yang dihuni sama dia tubuh remaja berusia 16 tahun semua, baik cowok maupun cewek. Saat "menghuni" satu tubuh, dia bisa mengakses memori orang tersebut sehingga bisa berpura-pura menjadi orang yang ia huni tubuhnya. Sampai suatu ketika, si A ini jatuh cinta sama seorang cewek yang namanya Rhiannon saat dia "hinggap" di tubuh cowoknya si cewek yang namanya Justin. Dari situ, A yang dari awal bisa dikatakan hidupnya standar-standar aja, jadi berubah total. Setiap hari dia kepikiran sama Rhiannon. Dan setiap pagi setelah ia bangun, hal yang dia pikirkan adalah Rhiannon, serta jarak diantara mereka. Nah kan? Gimana  kira-kira hubungan cinta yang begini? Yang bahkan ceweknya pun nggak tau kalau cowok yang ternyata dia sukai dan damba-dambakan banget ini sebenarnya bukan pacarnya? Gimana pula dia bisa jatuh cinta sama cowok yang bahkan tidak punya tubuh?

Pace buku ini cepat, jadi bacanya juga nggak bosan. Dan jelas banget kita jadi menebak ending-nya bagaimana, terutama karena banyak sekali pertanyaan terkait A itu siapa, kok bisa begitu, dan gimana akhir hubungannya dengan Rhiannon, dst. 

Endingnya cukup menyentuh, meskipun saya nggak sampai nangis (tapi hampir, dan mengingat saya baca di kantor kayaknya wajar kalau emosi agak saya tahan biar saya nggak diketawain karena tiba-tiba nangis sendiri). Tapi ada beberapa hal yang masih tidak saya temukan dalam buku ini, termasuk pertanyaan di kepala saya kenapa kok dia pindah tubuhnya ke orang-orang yang tinggalnya deket-deket situ aja. Dan kalau satu orang tidak mungkin dia "hinggapi" sekali, dan dia hanya menghuni tubuh orang yang seumuran, apa nggak habis ya hostnya? Kan kalau umurnya dari kecil sama berarti dia hanya bisa hinggap di orang-orang itu saja. Ah sudahlah..
Kalau bisa mengesampingkan beberapa pertanyaan itu, buku ini pasti menarik kok. Meskipun memang misterinya malah jadi menggelitik. Jadi berharapnya, akan ada penjelasan terkait sejarahnya A dan cara kerja hidupnya dengan lebih detil, terutama karena di akhir buku juga ada surprise lagi terkait latar belakangnya A. Dan dia akhir pun belum ada konklusi pastinya A ini makhluk apa. Dia orang kah? Apa alien? *sighs*

Dan ternyata sudah terbit buku ke duanya yang berjudul Another Day. Dan buku ini diceritakan dari sudut pandang Rhiannon, terutama ketika dia tahu kalau "cowoknya" ternyata bukan cowoknya. Saya belum baca buku ke dua sih, tapi kayaknya seru juga. Saya sangat penasaran dengan endingnya, terutama karena POV-nya A tidak bisa meng-cover situasi saat itu. 

Mungkin setelah baca buku ke dua, saya bisa tambahkan review-nya di sini. Yang penasaran, silahkan dicari dan dibaca. Sudah jadi best-seller juga ternyata ini. Saya yang telat.. -__-"

Friday, May 29, 2015

(Lagi-lagi) Balada Buku

Beberapa waktu yang lalu, setelah mampir-mampir ke situs yang banyak memberikan informasi tentang buku, secara tidak sengaja saya menemukan fakta bahwa buku satu seri A Song of Ice and Fire milik George R.R. Martin sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; A Game of Thrones. Saya kaget. Saya nggak pernah denger kabarnya, desas-desusnya, bahkan nggak punya firasat sama sekali kalau buku ini mau diterjemahin. I mean, dari ceritanya aja penuh dengan hal-hal yang biasanya di Indonesia suka disensor. Jadi, saya sama sekali tidak membayangkan buku ini bisa lolos seleksi untuk diterjemahkan. Saya tidak memikirkan fakta bahwa serial TV-nya yang digadang-gadang jadi salah satu show terbaik di televisi itu banyak penggemarnya di Indonesia. Ternyata berpengaruh juga.. -_- 

Waktu jaman-jamannya saya terobsesi dengan series ini, saya langsung menamatkan kelima buku yang sudah terbit dalam total waktu 240 jam (courtesy of reading application on android, jadi saya bisa tahu lamanya saya membaca satu buku dimana dalam kasus ini lama banget. 10 hari non-stop kalau diitung kasarannya), dan bahkan sampai menelusuri kisah sejarah sebelum buku pertamanya sampai nyari-nyari feature-feature BluRay yang bisa membuat saya lebih paham dengan konflik sebelumnya. Bahkan setiap saya selesai nonton setiap episode-nya, saya akan berdiskusi langsung dengan salah seorang teman saya yang sedikit banyak bertanggung jawab membuat saya penasaran sama series ini. Dan akhirnya, beberapa hari yang lalu, saya memutuskan untuk beli versi Bahasa Indonesianya.

Terlepas dari fakta bahwa saya sudah sempat merogoh tabungan cukup dalam demi beli buku versi aslinya, saya tetap penasaran dengan yang bahasa Indonesia. Sebelum beli jelas survey dulu, riset gimana prosesnya penerjemahannya, dan ternyata saya cukup impressed karena komunitas pecinta series ini (Westeros Indonesia) juga ikut andil di dalamnya. Dan walaupun pas baca excerpt saya merasa mendapati banyak kejanggalan karena istilah-istilah yang sudah familiar di kuping saya mendadak berubah menjadi istilah bahasa Indonesia (dan bahkan beberapa kurang pas kalau saya bilang), lama-lama setelah dibaca bagus juga deskripsinya. 

Penampakan bukunya sendiri cukup oke kalau menurut saya. Sampulnya simple, dengan mengambil gambar serigala yang iconic banget buat House Stark. Sayangnya saya agak merasa aneh dengan warnanya yang merah. Entah kenapa kalau lambangnya direwolf begitu rasanya lebih cocok pakai warna hitam atau abu-abu. But well.. I guess red is okay too.. Dan bahan covernya bukan kertas biasa, tapi semacam kertas "dove" atau apalah itu namanya (yang permukaannya bertesktur agak kasar tapi lemes). Saya punya satu buku lain dengan cover seperti ini. Dan memang lebih cool sih.. berasa nggak ringkih2 banget gitu.. :p

*too lazy to do a quick snap of my own book* sumber: bukabuku.com

Pengen baca ulang rasanya. Udah lama sekali rasanya saya baca buku yang pertama, tapi antrian buku yang harus diselesaikan masih panjang sekali. Saya bahkan belum menyelesaikan Windhaven, salah satu buku karya GRRM juga yang ceritanya oke, meskipun termasuk dalam kategori buku "kecil"-nya. Saya juga berhenti di tengah-tengah baca Travelling to Infinity-nya Jane Hawking. 1Q84-nya Haruki Murakami pun stuck di beberapa halaman setelah masuk buku tiga sampai-sampai saya agak lupa ceritanya mereka sampai mana. Kenapa akhir-akhir ini mood baca saya nggak jelas begini?? *sighs*

Anyway, tertarik banget dan sangat-sangat kepengen beli The World of Ice and Fire. Tapi harganya masih di atas 600 ribu, bahkan lebih dari harga 5 set buku pertama yang saya beli kapan itu. Udah dapet e-book-nya sih, dan ilustrasi di dalamnya mantap sekali (saya juga jatuh cinta sama visualisasi Rhaegar Targaryen di situ!!), tapi saya masih belum sanggup/kuat bacanya. Semoga bulan depan bisa beli versi print-outnya.. :3

Perlu memikirkan buku-buku mana saja yang harus saya ungsikan ke Jogja karena kosan saya sudah seperti gudang. Bahkan beberapa yang saya beli masih terbungkus plastiknya dan tidak tersentuh sama sekali. I'm the laziest book collector ever, perhaps.. =___= 

Tuesday, December 30, 2014

Free Stuff!

Everyone (at least everyone who knows me) knows I love books. Dan akhir-akhir ini saya merasa kalap beli buku. Semacam, I used to see myself as a book reader, but now I feel more like a book hoarder. Yah, mungkin karena udah bisa menghasilkan duit sendiri, yang namanya hobi jadi gampang banget tersalurkan. Ada diskon buku dikit langsung mborong. Bahkan saking parahnya, saya pernah niat ngecek website salah satu online bookstore favorit saya dan niatnya cuma liat buku apa aja yang baru. Tapi beberapa menit kemudian, saya sudah menghabiskan beberapa ratus ribu untuk belanja. I mean, come on.. =__= *timpuk diri sendiri*

Nah, ngomong-ngomong soal online bookstore favorit, beberapa waktu yang lalu saya dapat e-mail kalo periplus (I've decided not to hide the name) lagi ada program bagi buku-buku gratis. Sebagai orang yang ngakunya bookworm sejati (dan tentunya suka sama gratisan), saya merasa saya harus wajib ikutan program ini kalau memungkinkan. Setelah dicek, ternyata mereka emang bagi-bagi buku gratis di tanggal tertentu dan waktu tertentu. Meskipun kita tetap bayar ongkirnya, buat saya hal ini nggak masalah sama sekali. Karena harga satu buku di situ aja kadang bisa bikin saya nangis sambil elus-elus dompet. Akhirnya, dengan tekad baja, saya niatkan untuk hunting buku gratisnya. Programnya namanya Books Haul. Jelasin dikit deh ya.. Jadi, setiap jam 11-12 siang di tanggal tertentu, ada dua buku yang dibagikan dengan stok terbatas. Kita bisa pilih satu di antara dua buku itu. Nah, supaya bisa dapet gratis, kita mesti masukin kode voucher yang ada di tiap judul buku (yang muncul tepat jam 11). Habis itu, cepet-cepetan selesein proses belanjanya seperti biasa. Saya nggak tau jumlah yang dibagi per buku berapa biji. Tapi waktu pertama kali saya nyoba, saya bisa dapet! *Thank God for wifi*
Buku pertama yang saya dapat adalah Bird Box karya Josh Malerman. Saya belum tahu sih bukunya kayak apa, tapi diantara buku ini dan The Drop (yang katanya udah di film-in), entah kenapa saya lebih tertarik baca yang ini, makanya saya pilih buku ini dari awal. 

Pas saya lihat-lihat daftar buku yang dibagikan di hari-hari sebelumnya, saya sempat kaget karena besoknya, ternyata ada Pivot Point yang dibagikan. Bagi yang tahu, Pivot Point adalah salah satu novel favorit saya, dan pernah saya review di sini. Berhubung saya waktu itu baca soft-file-nya, pastinya saya pengen dong dapet versi buku beneran-nya.. Akhirnya saya niatkan harus ikut lagi besok. Dan mau nggak mau harus dapet. Sumpah saya nggak bisa tidur malemnya gara-gara kepikiran dan pengen banget. Dan esoknya, Alhamdulillah saya bisa dapet lagi.. X3


Basically, setelah kejadian ini, saya nyoba ikut Books Haul di setiap kesempatan. Tapi di hari ketiga, pas saya udah mau proses bukunya di web, ada notif yang mengatakan bahwa saya nggak bisa dapet bukunya. Berhubung waktu itu koneksi wifi kantor memang lagi ajeb-ajeb, saya asumsikan bahwa saya memang belum rejeki dapet bukunya Moira Young yang Blood Red Road (padahal pengen juga). Beberapa hari setelah itu saya belum ikutan lagi karena posisi lagi di Jogja dan ada acara yang tidak bisa diganggu gugat. Nah, hari ini, hari terakhir Books Haul, saya nyoba lagi. Sebelumnya saya memastikan dulu koneksi wifi udah yahud, supaya prosesnya lancar dan bikin senewen kayak sebelumnya. Eh, tapi.. pas udah saya masukin ke cart, nggak bisa aja gitu diproses, sama kayak sebelumnya. Katanya sih tiap customer cuma bisa dapat satu buku gratis. Saya agak bingung sebenernya. Dan setelah diusut, saya baru sadar kalo aturannya sudah diperbaharui. Jeng jeng jeng!!!
Sebelumnya, aturannya tidak membatasi bahwa satu customer hanya bisa dapat satu buku. Tapi aturan yang baru bilang, kalo intinya, yang udah dapet buku gratis nggak bisa dapet lagi. Mehh.. kecewa lah saya.. -___-" Saya bahkan baru nyadar kalo di bawah sendiri ada tulisan stok bukunya cuma satu dan di daftar masing-masing buku ada tulisan nama pemenangnya. Nama saya ada dua. Tapi di salah satu daftar, mereka menghilangkan nama depan saya sehingga nama saya terlihat beda (hoho~ kenapa coba? :p).


Well, mungkin mereka berpikir bahwa mereka harus adil, makanya orang-orang yang dapet buku lebih dari satu langsung di-blacklist. lol

But however, saya udah bersyukur bisa dapet beginian. As I said many times before, saya tidak merasa saya adalah orang yang beruntung. Hal-hal seperti ini (undian, cepet-cepetan, atau pokoknya yang ada unsur keberuntungan) selalu menjadi momok buat saya karena saya nggak pernah menang. Itu juga salah satu alasan kenapa saya paling males ikutan kuis berhadiah atau hal-hal semacam itu. Tapi entah kenapa kalo urusannya di seputar buku, saya merasa jauh lebih beruntung dibandingkan hal-hal terkait urusan selain itu. 
Yah, mungkin udah rejekinya juga kali ya.. Anyway, harus meluangkan waktu buat baca Bird Box-nya. Pas saya buka bukunya, saya langsung jatuh cinta sama tampilannya. Kertas cover-nya nggak biasa; tipe-tipe yang bertekstur gitu.. So pretty~ Dan nggak nyangka juga ada hadiah pembatas buku dari tokonya. Pokoknya online bookstore ini emang favorit saya. Selain suka ngasih diskon (yang lumayan signifikan dan di saat tidak terduga), mereka juga suka banget bikin program-program yang menarik dan bikin customer jadi setia sama service-nya. And I'm telling you, saya ini customer bawel (meskipun nggak bawel-bawel banget dan biasanya bawelnya beralasan). Jadi kalo saya udah muji-muji servis, tandanya memang worth it
Oke, kok malah jadi promosi.. -_-"

Wednesday, November 26, 2014

Thailand! (part 2)


Nah, lanjut deh ceritanya ke hari ke-3.. :D


DAY 3

Seperti biasa, kami harus udah check-out jam 9 biar langsung bisa berangkat. Sarapan di hotel di Pattaya hari ini agak beda karena kami nggak nemu nasi. Jadinya ya cuma sedapatnya. Tapi saya kenyang juga sih.. Yang agak bikin bete adalah temen-temen saya yang menganggap bahwa makan tanpa nasi itu semacam kiamat, nggak bakalan survive. Agak annoyed sih dengerin mereka ngomel mulu. Tapi ya saya diemin aja.
Kelar sarapan (which took too long because some people just kept filling in their plates though they won’t eat anything), kami langsung menuju mobil. Pas di dalam mobil, si bos pamer foto-foto di pantai yang mengindikasikan bahwa ternyata sebelum berangkat mereka mampir ke pantai sebentar. Mana foto-fotonya bagus banget lagi. Saya langsung nuduh si bos curang, dan malah diketawain.. -__-

Sepanjang perjalanan mengarungi Pattaya, si guide ini banyak banget cerita tentang daerah ini. Menurutnya, daerah ini merupakan daerah yang banyak ditinggali sama turis Rusia. Katanya, karena di negara mereka sendiri bulan-bulan begini udah musim dingin (yang teramat parah kalo di Russia), akhirnya mereka “migrasi” ke Pattaya. Dan memang sebagian besar turis didominasi oleh orang Russia. Nilai plus daerah ini buat para turis itu adalah karena biaya hidup di Pattaya murah. Dan mereka banyak nyari cewek lokal untuk dijadikan pasangan kawin kontrak. Yah, semacam itulah.. Memang agak horor sih ceritanya. Dan kesannya jadi negatif banget. Tapi kalau lihat suasana kotanya memang banyak sekali bar. Apalagi kalo siang hari, kotanya sepi banget; toko-toko juga pada tutup. Pattaya itu kota malam. Jadi pas udah malem, baru deh semua orang keluar buat have fun dan party-party..

Jadwal pagi itu kami diajak ke Gems Jewelry Factory. Katanya, GJF ini adalah tempat wisata yang sama pemerintah diwajibkan untuk dikunjungi bagi semua turis. Katakanlah, kalau ada travel agent atau tour semacamnya yang bawa turis, mereka harus memasukkan GJF ini ke agenda. Jadi bisa dibilang memang pemerintah Thailand ikut andil dalam men-support pariwisata di sana.
Nah, sekilas tentang GJF, tempat ini adalah tempat pembuatan perhiasan. Waktu sampai di sana, kami sempet bingung karena kami disuruh antri menuju semacam lorong, dan ternyata di lorong itu ada keretanya. Kata si guide, nanti kami akan diminta masuk ke semacam wahana kayak di Dufan. Dan bener aja, pas masuk keretanya, kami dibawa ke lorong-lorong gelap dan ternyata di situ ada banyak dorama-dorama yang menjelaskan asal muasal dan bagaimana pembuatan batu-batu untuk perhiasan. Bagusnya, di keretanya, ada terjemahan untuk masing-masing turis dari berbagai negara. Jadi kami bisa ndengerin penjelasannya lewat bahasa Indonesia. Di dalam lorong, terus terang agak spooky. Patung-patung dorama yang bergerak-gerak juga kesannya nyeremin. Tapi cukup fun juga sih, dan perjalanan juga tidak terlalu panjang. Yang jelas yang bikin cukup menarik adalah patungnya bisa bergerak karena dikasih tali-tali penggerak supaya bisa memeragakan proses yang dilakukan dalam penceritaannya.

Contoh bebatuan yang selanjutnya akan diproses

Contoh dorama yang ada di sana
(Orang ini ceritanya lagi menyaring bebatuan yang jatuh dari atas setelah disiram air)

Setelah keluar dari kereta, kami diantar ke area pembuatan perhiasannya. Di situ, kita bisa lihat proses yang dilakukan oleh para pekerja di pabrik ini. Ada yang mengasah batu, memotong batunya, sampai masang ke perhiasannya. Selanjutnya, kami juga diantar untuk melihat-lihat produk jadi dan yang dijual di sana.
Masuk ke areanya, perhiasan yang ditunjukkan ke kami adalah perhiasan yang mahal-mahal dengan kisaran harga 50 juta ke atas. Hadehh.. Akhirnya kami cuma mupeng liat cincin-cincin yang biasa dijadikan properti lamaran di film-film itu dengan berbagai warna batu di atasnya. Saya naksir banget sama cincin dengan batu berwarna hitam, tapi saya nggak nanya itu batu apaan. Di area ini, range harga menjadi acuan utama penempatan produk, jadi kita bisa tahu mana area mahal mana area yang lebih murah. Oh, dan di sini juga nggak boleh ngambil foto sama sekali. Padahal saya pengen banget foto-foto perhiasannya. Huhu..

Banyak banget perhiasan yang bisa ditelusuri di sini. Kami juga diantar ke area yang isinya mutiara. Lumayan murah sih sebenarnya. Liontin mutiara asli di sana dijual antara 200-600 Baht. Saya sempat pengen beli satu buat ibu. Tapi tiba-tiba inget ibu saya nggak terlalu suka pakai kalung. Akhirnya saya cari yang gelang. Dapet sih.. tapi harganya lebih mahal karena mutiaranya jauh lebih banyak. Akhirnya diurungkan dan saya cuma beli gantungan kunci berbentuk perangko yang unyu sekali buat oleh-oleh. Rasanya nggak sanggup beli yang mahal-mahal, mengingat oleh-olehnya harus didistribusikan secara adil dan merata *tsaaah*.. <- mupeng parah padahal (T___T)

Oh iya, waktu ngelewatin beberapa informasi yang dipigura, saya sempat baca bahwa orang yang lahir di bulan Juli itu batu alami yang pas untuknya adalah Ruby. Agak kaget juga, soalnya selama ini saya memang lebih tertarik sama rubi diantara batu yang lain. Entah apakah memang ngefek dan benar.. :p
Dan di sana sepertinya memang banyak yang bisa bahasa Indonesia. Bahkan salah satu mas-mas yang njelasin produk-produk perhiasan di sana sepertinya orang Indonesia asli. Bahkan dia sempat “nyetani” kami dan bertukar joke ketika kami galau beli apa enggak. Tapi menyenangkan sih.. dan sekali lagi saya yakin bahwa memang banyak orang Indonesia yang liburan ke Thailand. Jelas banget soalnya akses bahasanya gampang banget.

Kelar dari GJF, kami langsung menuju ke Nong Nooch Village. Nong Nooch Village ini semacam area resort yang luaaaaaas banget. Mungkin ada sekitar 40 hektar-an, dan dimiliki oleh orang bernama Nong Nooch. Katanya, Ibu Nong Nooch ini merupakan orang paling kaya di daerah itu, dan kalo dilihat dari lahannya, emang sih.. Luas aja pake banget-banget! Dan waktu perjalanan menuju ke area utamanya, kami ngelewatin pepohonan berkilo-kilometer jauhnya. Dan di sepanjang jalan, ada pohon-pohon palem yang ditaruh di pot besar di kanan-kiri jalan. Kata si guide itu pohonnya dijual. Semakin gedhe dan semakin berbunga semakin mahal. Tapi bingung juga sih bawanya gimana itu pohonnya, orang jarak main road sama areanya aja jauhnya minta ampun. Tapi saya menemukan bahwa ternyata para bule banyak yang memilih jalan kaki menuju ke sana. Geez.. (O_O)

Sampai di sana, kami langsung ke tempat pertunjukan. Jadi, jadwal kami hari itu adalah nonton pertunjukan budaya yang ada semacam thai boxing-nya juga, dan setelah itu nonton elephant show. Pas cari posisi buat pertunjukan seni-nya, kami dihadapkan pada panggung yang cukup besar, dan di depan panggungnya ini sudah di set kursi-kursi buat duduk. Tapi setengah area duduk dari depan cuma pake busa aja yang ditaruh di bawah, di anak tangga. Jadi kesannya duduknya ngedeprok gitu. Baru di belakangnya ada kursi. Saya duduk di kursi bareng rombongan. Dan sumpah, ramenya… Bahkan banyak banget anak-anak kecil (mungkin anak-anak TK) yang berwisata ke sana hari itu.

Depan kami isinya anak kecil semua

Pertunjukan thai boxing yang dipertontonkan

Pertunjukannya sih cukup menarik saya bilang. Banyak tarian dari Thailand, dan bahkan saya juga lihat ada tarian Melayu juga. Sempat ada intermezzo pertandingan thai boxing juga, tapi lebih ke parodi sih, karena ada beberapa orang yang pura-pura jatuh dan semua orang ketawa. Dan di akhir, ada juga pertunjukan yang pake dua gajah gedhe banget dan pura-puranya dua orang yang menunggangi gajah-gajah itu lagi bertempur trus salah satu kalah.

Setelah pertunjukan seninya selesai, orang-orang langsung pada berbondong-bondong ke belakang untuk lihat Elephant Show. Saya sama salah satu teman saya kebawa arus dan akhirnya meninggalkan rombongan lain. Tapi sampai lokasi sudah penuh ternyata. Akhirnya kami berdua duduk “ndeprok” di depan sendiri dan bener-bener di pinggir jalan. Tapi cukup dapet view bagus sih, terutama kalau gajahnya lagi minggir.

Pertunjukannya mungkin mirip-mirip sama pertunjukan gajah pada umumnya (bahkan bos saya bilang lebih bagus yang di Taman Safari). Intinya, gajahnya pinter lah. Main dart, ngelukis, main hula-hup, dan juga ada gajah yang main sepeda. Tapi saya jatuh cinta sama salah satu anak gajah yang hiperaktif banget. Ini anak gajah mungkin salah makan, soalnya dia sangat bersemangat dan ngelempar hulahup-nya pun lebay banget. Dia juga banyak disorakin sama pengunjung saking enerjiknya. Udah gitu kan penonton boleh ngasih makan, nah.. si anak gajah ini kalo dikasih makan nggak mau berhenti. Mana ekspresinya juga seneng banget, lucuuuuu.. pengen saya peluk deh! X)
Oh iya, di akhir pertunjukan, kita boleh foto sama gajah (dikasih tiga pose, termasuk diangkat sama gajahnya). Tapi harus bayar 100 Baht. Saya candid fotonya si anak gajah aja deh, yang gratis.. :p

Anak gajah yang hiperaktif

Anak gajah yang ini juga lucu, tapi lebih anteng

Gajah-gajah yang dipakai di pertunjukan

 Akhirnya di jam makan siang, kami diajak makan di deket situ. Ternyata orang-orang Indonesia ngumpul makan siangnya juga di situ. Saya jujur udah setengah nyawa banget. Kaki udah pegel, mata berat, super ngantuk. Jadi pas makan juga sekenanya nggak niat-niat amat. Tapi lumayan enak sih makanannya. Meskipun toilet lumayan susah dan jarang yang ada air bersihnya.
Setelah makan, kami foto-foto sebentar sambil menuju ke mobil. Bahkan sempet sama si bos kami disuruh naik-naik batu gede di taman biar fotonya bagus.

Pas udah di mobil rasanya pengen tepar. Si guide bilang tujuan kami selanjutnya adalah dried food market, sambil kami juga jalan kembali ke Bangkok. Akhirnya saya bisa tidur juga, meskipun di sepanjang perjalanan, saya berkali-kali kebangun karena nyupirnya “smooth” banget. Terlalu “smooth”.. -__-

Sampai di dried food market, saya bingung mau beli apa. Masalahnya koper saya udah benar-benar terbatas space-nya (mengingat koper saya juga kecil), plus dia juga nggak bisa ditarik lagi, harus dijinjing (mungkin dia memang sudah lelah). Akhirnya dengan mata 5 watt, saya cuma jalan muter-muter nyobain sample makanan. Dan di sini juga banyak yang bisa bahasa Indonesia. Bahkan mas-mas yang pegang halo-halo, nawarin barangnya juga dalam bahasa Indonesia. Produknya sendiri mirip sama produk kita, terutama keripik-keripik buah yang banyak kita temu di Jawa Timur. Dan akhirnya, cuma buat sah-sah-an aja, saya beli teh instan buat ibu kos. Tapi pas bayar kenapa harganya nggak sesuai sama tulisan yang di kartonny? >_< *nggak santai*

Dan akhirnya mobil berjalan lagi menuju Bangkok. Tujuan terakhir kami hari ini adalah MBK. MBK ini semacam pusat perbelanjaan, kayak mall begitu lah.. Mungkin di Jakarta mirip sama ITC Kuningan. Barang-barang di sana kata teman saya cenderung murah dan memang banyak jadi tujuan para turis buat berbelanja. Yang bikin saya lebih excited lagi, pada akhirnya saya janjian dengan teman saya di MBK untuk ketemuan. Sebenarnya awalnya dia pengen nyamperin saya ke hotel. Tapi jarak tempat kerjanya (yang deket dengan MBK) dan hotel saya lumayan jauh, mana dari stasiun kereta juga jaraknya lumayan. Akhirnya, setelah tahu kalau saya mau nyambangin MBK, dia dengan senangnya meminta saya menunggu dia di sana. Sempat agak ragu karena dia ternyata jadwal pulangnya jam setengah 7, dimana saya jam segitu udah harus kumpul lagi buat makan malam dan balik ke hotel. Dan setelah kompromi, teman saya berusaha untuk diam-diam skip kerjaan (*oops*) dan langsung nyamperin saya sekitar jam setengah 6.
Sambil nunggu dia, saya cari-cari oleh-oleh buat dua krucil (aka ponakan) di rumah. Banyak sih baju yang murah-murah, tapi banyak juga model yang saya senengin dan ternyata harganya mahal. Tapi pada akhirnya saya bisa dapat yang saya pengen buat dua krucil itu, plus magnet kulkas buat mainan si krucil yang gedhe. Dan sekali lagi terbukti bahwa di MBK ini banyaaaaak banget penjual yang bisa bahasa Indonesia. Ada yang lancar banget, tapi ada juga yang cuma sepatah-dua patah kata dan tetap harus dibantu kalkulator pas nawarin harga. Tapi setiap lewat lapak orang, kami sering banget disapa pake bahasa Indonesia.

Bisa dibilang waktu di MBK saya nggak bisa tenang. Karena cara satu-satunya menghubungi teman saya itu ya pake sms. Sedangkan roaming mengharuskan saya kena tarif per sms sekitar 8000-an rupiah. Saya sih udah siapin pulsa agak banyak di hape, tapi tetep aja, pasti cepet habis. Dan akhirnya setelah beberapa kali sms-an sama dia, saya bisa ketemu juga.
Tepat setelah saya selesai cari-cari baju, saya dapat sms kalo temen saya ini udah nunggu di dekat information center di lantai 6. Akhirnya saya tanya sama penjual terdekat information center-nya dimana. Pas udah ditunjukin, saya langsung ngacir ke sana. Hal ini juga mengingat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, which is waktu kami ngobrol cuma sekitar setengah jam.

Pas saya lihat dia dan dia lihat saya, kami langsung berpelukan kayak Teletubbies. I know, cheesy banget! XD Dan di tengah-tengah mall pula (jadi banyak diliatin orang). Tapi saya sih udah nggak peduli, habis rasanya ketemu teman dunia maya itu memang susah dideskripsikan, antara nggak percaya bahwa orangnya beneran ada dan akhirnya setelah menunggu sekian lama bisa ketemu juga.
Pas saya bilang sama Natt (temen saya ini) kalo waktu ketemuan cuma setengah jam, dia mulai bingung mau kemana. Kalo makan, nggak mungkin. Mau jalan-jalan juga bingung kemana. Akhirnya dia nanya sama saya mau nggak saya diajak muter-muter. Saya iyain aja lah, karena saya juga nggak ngerti arah di sini. Tapi saya pastikan dulu kalo jam setengah 7 saya udah harus nyampe di salah satu entrance yang namanya Tokyu Door (dia sempet nggak ngerti Tokyu Door itu dimana, tapi setelah saya jelasin deskripsinya dan saat ini itu ada event boxing, dia langsung ngerti). Dan jadilah, saya dibawa muter-muter jembatan skytrain sama dia.
Jadi, di Thailand ini ternyata ada kereta yang lintasannya di atas, sebutannya skytrain atau BTS; beda dari MRT yang sistemnya underground. Makanya ada jembatan-jembatan (semacam jembatan penyebrangan) yang menghubungkan tempat-tempat di sekitar situ (mostly malls dan gedung tinggi kalo saya lihat) menuju ke stasiun skytrain-nya. Tapi saya sama Natt cuma memutuskan untuk jalan-jalan di bridge-nya aja, jadi nggak naik keretanya. Sekali lagi, karena nggak ada waktu. Dia bilang waktu itu mau nunjukin mall lain ke saya karena menurutnya MBK ini sebenarnya biasa aja (dan memang iya). Saya juga bilang di Jakarta mall beginian juga banyak. Pas kami masuk ke mall lain (saya  nggak tau mall apaan, tapi memang lebih mewah – mungkin siam paragon atau sodaranya), saya langsung diajak ke toko asesoris yang menjual barang-barang lucu. Seleranya dia memang barang-barang lucu begitu, dan pas saya liat banyak banget toy-capsule dari Jepang yang sistemnya pake koin gitu. Tapi saya sih cuma liat-liat aja. Dalam perjalanan keluar dari MBK ke salah satu bridge skytrain-nya, kami sempet-sempetnya nyasar. Ternyata temen saya ini juga sering nyasar di mall kayak saya.. lol
Kami cerita banyak, mulai dari hal-hal yang menyatukan interest kami berdua (termasuk fangirling-an), dan bahkan saya juga curhat kerjaan sama dia. Dia sempet ngasih saya oleh-oleh kripik duren sama kripik pisang dan pas banget, karena saya nggak beli keripik sama sekali.. :p
Pas udah jam setengah 7-an, akhirnya kami turun ke meeting point yang ditentukan sebelumnya. Kami mau foto-foto dong ya.. kan sayang kalo udah ketemuan dan nggak ada bukti foto yang membenarkan kalo kami udah kopdar-an di Bangkok. Tapi pas sampe sana ternyata temen-temen saya belum balik juga. Kami nyoba selfie tapi ternyata gelap, sedangkan saya bingung mau minta tolong siapa buat moto-in. Tapi setelah agak lama ditunggu, temen-temen saya muncul juga. Saya kenalin deh Natt ke mereka, dan saya minta salah seorang temen saya buat motoin. Hasilnya yah.. begitulah. Masih kurang puas sebenernya, tapi kami udah harus balik lagi. Akhirnya Natt nganter saya ke mobil dan kami udah kayak orang pacaran karena gandengaaaaan melulu.. XD (nggak sadar sebenernya gandengannya)
Sampai mobil saya digodain sama si bos yang bilang kami ini kayak anak TK soalnya gandengan melulu.. *facepalm* Yah, semoga next time bisa ketemu lagi di tempat lain dan lebih lama.

Me and Natt

Buat makan malam, kami dibawa sama guide ke tempat makan all-you-can-eat lainnya, tapi yang ini menunya lebih lengkap. Ada makanan Indonesia, Jepang, Itali, macem-macem lah pokoknya. Saya juga icip-icip banyak, termasuk makan sushi. See, saya baru sekali ini nyobain makan sushi. Sebelumnya kalo pengen selalu males beli soalnya mahal, dan saya kan belum tahu saya bakalan suka apa enggak. Tapi ternyata pas nyobain saya suka.. :a Dan saya juga sempet-sempetnya ngambil pizza sama bakpau yang super enak dan isinya labu. Padahal saya udah makan banyak juga.. Goodbye, diet! Makan saya sama sekali nggak dijaga di sana.. *cries a river*

Setelah makan malam, kami balik ke hotel yang kami inapi di hari pertama. Lega karena pas masuk lobby saya udah bisa wi-fi-an lagi. Dan ternyata saya dapat kamar yang dekat sama lift di lantai tiga, beda dari dua hari sebelumnya yang kamarnya masih jauh ke belakang. And guess what? Ternyata di kamar saya masih ada bocoran wi-fi dari lobby! X) Seneng dong, saya.. Soalnya kan sebelum ini udah pasrah aja hidup tanpa wi-fi selama di sini. Tapi ternyata malah bisa wi-fi-an sedangkan teman yang lain nggak bisa pada ngenet sama sekali.. *grin* Sebenarnya agak miris rasanya ketergantungan sama wi-fi, tapi mengingat opsi komunikasi di sana cuma itu, ya gimana lagi.. (.__. )
Dan malam itu saya tepar karena kecapekan.


DAY 4

Hari ke-empat adalah hari bebas, jadi tidak ada jadwal dari dari travel yang harus kita ikutin. Tapi dari hari sebelumnya si bos sempat wanti-wanti kalau mereka mau bikin acara buat kita. Belum tahu sih pilihannya mau ke mana, tapi pada dasarnya kami lebih bisa bangun siang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Dan sesuai dugaan, saya bangun siangan dikit dari hari sebelumnya, dan teman sekamar saya udah siap aja gitu. Udah mandi dan udah dandan. Saya merasa dikhianati karena nggak dibangunin. Setelah siap-siap, langsung menuju ke bawah. Nah, karena udah siang, menu sarapannya juga tidak sebanyak kalo kami bangun pagi. Tapi setidaknya makanannya tetep enak dan kami kenyang lah ya..
Pas sarapan juga si bos bilang kalo kami harus check-out jam 10, dan selanjutnya mau diajak jalan-jalan ke Art in Paradise. Semacam galeri 3D interaktif gitu lah. Setelah sarapan, saya dan teman saya balik ke kamar dan saking capeknya, saya sempet-sempetnya ketiduran. Baru bangun setelah teman di kamar lain ketuk-ketuk pintu minta kita turun buat check-out.. *facepalm*

Nah, sebenarnya di hari terakhir ini kami nggak dikasih fasilitas apapun sama travel-nya. Tapi si bos kayaknya minta supaya tetap disediain driver dan mobil dengan charge tambahan di luar paket karena kami nggak tau jalan dan si bos satunya lagi juga males naik MRT. Akhirnya salah seorang driver (yang kali ini tidak bisa berbahasa Indonesia) mengantarkan kami ke tempat tujuan. Art in Paradise ini letaknya di semacam mall, tapi saya nggak lihat tulisan gedungnya apaan. Yang jelas tempatnya di lantai 4 gedung itu, dan belum buka. Jadi, pas kami sampai, kami sambil lihat-lihat apa aja isinya di dalam. Saya sempet mupeng soalnya saya lihat iklan film Mockingjay dan hari itu pas tanggal 19. Pengen nontooooon.. (btw, Mockingjay super keren!!!) Dan saya juga lihat poster Peeta gedhe banget. Oh, iya, sama di lantai atas, di balkonnya, juga dipasang poster film Saint Laurent yang dibintangi Gaspard Ulliel. Mas Gaspard-nya terlalu cakep.. *sesenggukan*

Anw, pas jalan mau ke lantai atas, sempat saya lihat salah satu toko yang masih baru diberesin, dan di depan toko ada satu Teddy Bear hampir segedhe badan. Nah, karena saya suka banget sama boneka Teddy Bear, apalagi yang fluffy-fluffy gitu, saya dari jauh udah nyeletuk “Teddyyy~”, sambil mengulurkan tangan pengen megang. Saya nggak sadar kalo ada mbak-mbak di depan tokonya yang ngeliatin saya dengan pandangan sinis dan bilang “no touch!”. Tapi saya nggak menggubris dan tetep megang tu Teddy yang sangat fluffly. Habis itu saya langsung kabur, takut dimarahin sama mbaknya. Dan temen saya di sebelah langsung ngakak.

Pas nyampe di depan Art in Paradise, ternyata kami pengunjung pertama. Jadi kami masih mondar-mandir aja di depan pintunya sambil foto-foto dan nunggu si bos beli tiket. Nah, ternyata pas kami masuk, si petugasnya bilang kalo hari itu sedang ada promo. Jadi semua pengunjung dikasih satu foto gratis berpasangan (semacam foto trik ilusi gitu), dan gayanya bisa milih dari gaya-gaya yang ada dan ditempel di dinding. Saya sama temen saya milih gaya yang paling simpel, karena dia males ribet-ribet dan nggak mau dikasih gaya yang agak ekstrim.

Pintu masuk Art in Paradise

Masuk ke kawasan lukisannya, ternyata kami disuruh lepas sepatu, jadi saya juga cuma pake kaos kaki (lebih karena males aja pake lagi kaos kaki-nya pas kelar nanti). Nah, masuk-masuk, langsung deh kami disuguhi pemandangan lukisan realis 3D yang masing-masing bisa kami masukin buat pose. Intinya, buat foto di sini, kami harus kreatif karena posenya harus disesuaikan dengan tema yang ada. Nggak bisa cuma berdiri mejeng trus difoto <- mati gaya nanti.
Sebenarnya saya termasuk orang yang nggak terlalu suka difoto. Dari dulu kayaknya. Jadi pas masuk sini, meskipun excited, saya juga nggak sebegitu antusiasnya minta difoto di semua lukisan. Bahkan kebanyakan saya fungsinya jadi juru foto dan pengarah gaya.. (-__-“) Tapi tak apa lah, seenggaknya saya masih punya kenang-kenangan gambar di beberapa lukisan yang cukup oke. Dan favorit saya.. lukisan kucing super besar ini. He’s just too cute.. <3

Ini kucingnya pengen saya peluk beneran deh..
  
Kami stay dan foto-foto di AiP selama hampir 3 jam. Kelar dari sana, badan rasanya pegel semua. Karena ternyata ngambil foto di sana juga nahan posenya bikin pegel. Setelah selesai, si bos ngeliat kami dehidrasi dan memutuskan untuk beli minum di café-nya. Tapi ternyata service-nya lama banget, dan mbaknya juga nggak bisa bahasa Inggris sampai-sampai dia manggil salah satu petugas lainnya yang lebih ngerti bahasa Inggris buat ngomong ke kita.

Salah satu hasil foto favorit saya
  
Kelar dari Art in Paradise, kami langsung ke MBK (lagi). Tujuan utama si bos adalah supaya yang kemarin belum puas belanja bisa cari barang belanjaan lagi. Dan kami juga mau cari makan di sana. Awalnya sih niatnya mau makan McD, tapi si bos malah ngajak kita ke food court-nya. Sistem di food court ini, kita beli makannya pake kartu. Dan masing-masing kartu kisa isi voucher berapa baht, kayak kalo beli pulsa lah ya.. Nah, kami disuruh cari makanan yang kami senengin sama si bos. Tapi ternyata.. pas masuk.. ugh! Banyak banget yang daging babi! Bahkan waktu kami lewat counter makanan pun bau daging babi-nya menusuk banget, dan sumpah nggak enak. Saya ampe rasanya pengen buru-buru menjauh dari konter-konter itu. Dan karena pusing, kami cari makanan yang ada label halal-nya, sampe nanya ke yang masak ini halal apa enggak. Akhirnya kami semua malah makan nasi semacam nasi gurih (yang buat kenduri di desa-desa itu..) sama ayam yang udah direbus dan dikasih bumbu gurih plus ayam goring krispi. Enak sih, dan jujur saya kangen makanan dengan cita rasa begitu. Udah lama nggak makan.

Setelah dari food court, saya dan salah satu teman saya langsung keluar cari baju, yang rencananya mau saya kasih ke bapak. Tapi malah di pintu keluar saya nemu orang yang jualan perhiasan. Katanya sih perak (meskipun saya agak ragu keasliannya karena harganya termasuk murah).  Macem-macem sih jenisnya.. Ada kalung, gelang, bros, dll. Dan karena sebelumnya saya nggak jadi beliin ibu gelang mutiara yang di Gems Jewel Factory, akhirnya saya beliin kalung satu buat ibu. Wkwk..
Dan setelah dapat kaos pun saya memutuskan untuk cari tempat duduk di food court, karena kaki saya rasanya udah minta ampun pegelnya. Jalan pun udah nggak sanggup, dan tiap kali turun tangga bawaannya meringis. Huhu.. *elus2 kaki*

Jam 5 sore, kami langsung menuju mobil karena sudah jadwalnya menuju ke bandara buat pulang. Sampai bandara, ternyata ngantri check-in-nya super panjang. Tapi kami sempet lihat satu mas-mas  cakep dengan gaya nerdy gitu, lagi serius banget mantengin hape-nya dan ngantri di belakang kami. Buat hiburan, kami mantengin aja masnya biar nggak bosen.. XD
Tapi sempat ada balada si bos kehilangan iPhone-nya. Dan setelah dilacak, ternyata iPhone-nya ketinggalan di MBK, tepatnya di Coffee Bean. Akhirnya si bos jadi senewen. Kami juga agak menjaga jarak deh, takut diomelin. Untungnya tour guide kami bisa dihubungin dan dimintain tolong untuk nyimpenin dulu.

Sempat makan dulu di bandara karena ternyata semuanya udah laper lagi. Dan sambil menunggu boarding, kami sempet observe ternyata orang Indonesianya banyak banget. Dan pas di pesawat untungnya saya bisa tidur meskipun cuma bentar. Sampai di Jakarta udah jam setengah 1. Cari taksinya nggak terlalu lama karena antrian juga nggak begitu panjang, dan akhirnya saya sampe kosan sekitar jam 2-an pagi. Langsung tepar. Besoknya, sudah bisa diduga saya kesiangan dan semuanya telat masuk kantor.


***


Overall, trip ke Thailand-nya cukup menyenangkan buat saya. Seenggaknya dari sini saya sudah pernah jalan-jalan ke luar, dan rencana taun depan liburan sama temen pun lebih bisa direncanakan dengan matang karena step-step-nya saya udah familiar. Tapi ya itu.. rasanya jadi pengen ke tempat-tempat lain yang sekiranya lebih seru. Melihat budaya lain memang menarik. Saya juga banyak menyadari bahwa culture Indonesia dan Thailand secara umum tidak jauh berbeda, karena wilayahnya juga dekat dan iklimnya juga sedikit-banyak mirip. Tapi bahasanya memang susah sih.. saya yang diajarin beberapa kata aja kadang inget kadang enggak. Yang jelas, target selanjutnya adalah tempat-tempat yang sudah menjadi impian saya beberapa tahun terakhir untuk dikunjungi.