Tuesday, January 18, 2011

It was Me (with the Photographs)

Tiba-tiba teringat kebiasaan masa kecil saya yang hampir saja terlupakan. Setelah membaca sebuah novel yang menceritakan orang yang mendadak terkenal, saya jadi ingat hobi saya waktu masih SD. Dan hobi itu adalah... mengirim surat ke artis/penyanyi cilik dan minta foto yang sudah ditandatangani.

Sejenak saya merasa bodoh. -Duh! kayaknya kok nggak penting banget hobi saya itu- apalagi sekarang setelah dipikir-pikir lagi, kok dulu saya sukanya buang-buang duit untuk hal-hal yang nggak penting seperti itu. Ngerti kan maksudnya? Beli kertas surat dan amplop yang gambarnya lucu dan berwarna-warni, perangko, dan fakta bahwa saya harus berdiam diri seharian memikirkan kalimat apa yang harus saya tulis di surat itu (yang setelah saya ingat2 lagi bener2 membuat saya merasa idiot).. -____- Really, it was sooooo stupid..

Mungkin yang harus saya salahkan saat itu adalah majalah Bobo. Ya, majalah Bobo yang adalah majalah favorit saya dulu dan menjadi langganan bertahun-tahun. Majalah yang memberikan banyak informasi untuk anak-anak, termasuk alamat-alamat artis yang bisa dikirimin surat dan membuat anak SD cupu seperti saya jadi kepengen nyoba dan akhirnya ketagihan.

Saya ingat betapa senangnya ketika suatu ketika, dari beberapa surat yang saya kirimkan, saya mendapat balasan yang isinya lumayan sesuai dengan yang saya harapkan. Salah seorang penyanyi cilik yang saat itu sedang naik daun (halah! bahasanya) membalas surat saya (meskipun tidak secara personal) dan mencantumkan kartu pos bergambar dirinya dan kalender yang dibaliknya juga ada gambar dia (cukup narsis ternyata setelah dipikir2). Reaksi saya pertama kali waktu membuka kiriman surat itu adalah jingkrak2. Bayangkan saja, dari beberapa surat yang saya kirim baru kali itu saya dapat apa yang saya mau.

Lucu juga mengingat kejadian-kejadian konyol yang pernah kita lakukan, dimana sekarang pas kita ingat2, rasa-rasanya yang ingin dilakukan hanya ketawa dan berdecak heran. Mungkin sekarang saya merasa bego pernah menjalani fase nggak penting seperti itu. Tapi dulu, dalam situasi yang sama, saya sangat bersyukur dengan apa yang saya lakukan. Karena bagaimanapun, hal-hal kecil yang sekarang saya anggap bodoh adalah hal yang membuat saya bersemangat menjalani hari-hari saya, belajar menjadi orang yang kreatif, dan yang pasti, memberanikan diri untuk melakukan sesuatu (yang cukup bodoh :p). Saya sampai sekarang nggak ingat foto-foto artis itu di mana. Mungkin sudah terbuang?? Nggak tahulah.. Yang jelas, saya hanya ingin tertawa mengingatnya. Nostalgia masa kecil memang rasanya berbeda ya... :)

Sekarang, saya sudah punya idola baru. Idola yang berbeda dari masa kecil (ya iyalah). Dan mungkin pandangan baru terhadap apa yang saya idolakan. Dulu, saya suka seseorang karena lagunya bagus, dia lucu, terkenal, dan atribut-atribut lain yang nggak cukup penting. Tapi sekarang, idola adalah sosok dimana saya nggak hanya suka sama apa yang disajikan di depan mata saya, tapi juga dibalik semua yang dia lakukan. Idola untuk saya sekarang adalah bagaimana seseorang itu memahami suatu hal, menjadikannya pegangan dan nilai yang berarti, dan akhirnya muncul dalam sebuah kekaguman akan apa yang ia lakukan.
Ya, mungkin beda-beda tipis. Tapi setidaknya sekarang saya nggak seekstrim dulu sampai nulis surat minta foto. Kalopun nulis surat (yang pernah saya lakukan -dalam bentuk email- buat satu-satunya band rock Jepang favorit saya sebagai bentuk apresiasi, cuma sekali lho ya!! *defense*), yang saya tulis adalah saran dan kritik juga apresiasi saya terhadap musik mereka.

Tapi bagaimanapun, saya tetap bangga menjalani masa kecil yang cukup bodoh seperti itu. Dan mungkin di jamannya, apa yang saya lakukan memang populer (meskipun seingat saya nggak ada temen saya yang melakukan hal sama). Dengan berkembangnya teknologi, cari foto idola bisa langsung dilakukan dengan googling. Bahkan berkomunikasi langsung dengan mereka sudah bisa dilakukan via twitter, hal yang tidak saya dapatkan ketika masih SD. Jeez, tiba-tiba merasa tua dengan perubahan yang begitu drastis. But hey, that's life by the way... :D

Friday, January 7, 2011

More Than Words


Tenang… Postingan ini nggak mbahas lagunya Mr. Big… =D

Seorang teman pernah berkata kepada saya ketika kami sedang membicarakan musik, “Apa sih enaknya ndengerin musik instrumental? Apalagi musik klasik gitu. Kan nggak ada liriknya. Malah bikin ngantuk.”
Ya, memang. Saya seorang penggemar musik instrumental, meskipun tidak seluruhnya (tetep pilih-pilih, sama kayak kalau kita milih lagu favorit). Saya suka mendengarkan musik klasik, dan saya suka mendengarkan soundtrack film yang biasanya berupa score. Saya nggak pernah bisa membagi kesukaan saya terhadap satu musik instrumental ke orang lain karena kebanyakan dari mereka tidak punya hasrat yang sama. Ketika saya suka satu lagu rock (yang juga merupakan genre favorit saya), saya tahu siapa yang harus saya ajak berbagi, atau ketika saya nemu satu lagu pop yang populer, saya tahu harus minta ke siapa. Tapi ketika saya menemukan score yang saya suka, saya tidak membaginya. Saya menikmati sendiri. Saya membuat kisah sendiri. Seakan-akan saya punya rahasia, kepribadian yang orang lain nggak tahu ada di diri saya.
Saya punya ketertarikan sendiri dengan beberapa instrumen musik, dan bahkan saya akan mendengarkan lagu apa saja yang di dalamnya terdapat unsur alat musik tersebut. Berlebihan kah? Saya rasa nggak. Semua orang punya gejala ‘kegilaannya’ sendiri. Dan saya merasa inilah ‘kegilaan’ saya. 

Pernahkah terpikirkan bahwa sebuah musik instrumental itu punya makna? Saya sadar kalau kita mendengarkan musik, hal yang cukup diperhitungkan adalah liriknya. Kalau kita mencoba memasukkan sebuah lagu ke dalam video yang kita buat di movie maker misalnya, yang pertama dipertimbangkan mungkin adalah liriknya, sesuai apa nggak. Tapi saya cenderung berpikir bahwa musik instrumen adalah musik yang lebih kaya makna dibandingkan lagu biasa (berlirik). Bagaimanapun juga, musik instrumental diciptakan karena sebuah kisah.

Coba kita liat scoring di film-film. Ketika saya melihat sebuah film, saya menyadari, yang membuat saya nangis (sebagian besar) selain ceritanya yang sedih adalah backsound film yang suaranya sangat syahdu, sendu, dan tanpa terasa air mata udah jatuh (mbrebes mili). Saat saya nonton film horror/thriller, yang bikin merinding adalah musik yang misterius, ‘mengiris’, dan kelam (tapi tidak dengan Paranormal Activity yang ‘garing’ :p). Itulah kenapa saya suka score film. Saya suka karena dalam sebuah lagu itu tersimpan cerita yang dalam, tak terbatas. Dan yang menakjubkan adalah, kita bisa bikin skenario film sendiri di kepala kita ketika dengar theme tersebut. J Saya sangat menikmati score film How to Train Your Dragon yang dikomposisi oleh John Powell. Saya bilang dia jenius. Pertama kali saya dengar Test Drive, saya langsung merinding dan pengen belajar mainnya. Hari berikutnya saya download satu album. Atau ketika saya dengar The Battle karya Harry Gregson-Williams di Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch, and The Wardrobe, saya langsung pengen download dan ndengerin berulang-ulang. Saya memperlakukan musik instrumen seperti saya memperlakukan lagu yang berlirik. Kalau di lagu berlirik biasanya saya nyanyi-nyanyi, di musik instrumen, saya akan humming. Dan itu menyenangkan, meskipun memang rasanya nggak maksimal. (-o-)

Untuk musik klasik, saya berterima kasih pada Nodame Cantabile yang telah memberikan saya pencerahan dan pengetahuan yang baru tentang dunia orkestra, terutama karya-karya luar biasa komposer klasik yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Satu obsesi saya yang sebenarnya ragu bakalan bisa tercapai hanya satu: Pianis. Saya dari dulu pengen banget jadi pianis (terlebih lagi setelah suka Maksim). Saya merasa pianis itu keren, karena dia bisa menciptakan nada-nada indah (dan rumit) yang keluar dari piano. Tapi kenapa mesti pianis? Jawabannya gampang: karena selama ini, instrumen yang paling dekat dengan saya adalah keyboard (yang bisa dijadikan mode piano), yang bisa sedikit saya mainkan, dan bisa buat latihan (meskipun saya sama sekali tidak mahir). Saya juga suka biola dan cello, instrumen berdawai yang menurut saya bisa mengeluarkan nada yang sangat syahdu dan menawan. Kalo saya denger suara piano, biola, dan cello dipadupadankan dalam sebuah lagu, saya pasti langsung meleleh. Jadi, buat yang bingung sebenernya selera musik saya apa, ada jawaban gampangnya: Saya suka musik dan lagu yang ada suara pianonya. Sukur-sukur ada suara string orkestra yang biasanya langsung bisa membuat bulu kuduk saya berdiri. Genre lagu yang awalnya susah saya senengin (kata teman-teman, genre lagu kesukaan saya tidak biasa [baca: ekstrim kanan-kiri]), kalo ada salah satu atau lebih unsur tersebut, kemungkinan besar saya akan langsung donlot atau simpen lagunya. Sesimpel itu kan?? *laugh* Saya suka Hurricane-nya 30 Seconds To Mars yang terdengar syahdu sekali dengan sentuhan rocknya yang khas dan tambahan sedikit hip-hop, saya suka Believe Me-nya Fort Minor yang nge-beat dan enak buat joget (meskipun saya nggak bakalan joget-joget), saya suka A Little Piece of Heaven-nya Avenged Sevenfold yang berlirik cukup sadis dengan musik rock yang masih sweet, tapi saya juga suka Piano & Violin Sonata-nya Mozart yang sangat mellow dan mungkin orang-orang bilang itu lagu bikin ngantuk. Atau Apocalyptica yang bisa membuktikan bahwa mereka bisa nge-rock tanpa gitar. Karena mereka punya kesamaan: sama-sama berunsur piano dan string

Saking ngefansnya dengan musik klasik, saya pernah punya satu cita-cita pas semester awal kuliah. Saya pengen skripsi saya nantinya ada hubungannya dengan musik. Saya pengen nantinya saya bisa ngublek-ngublek diri seseorang melewati musik (yang sebenarnya adalah proyeksi pribadi). Rencananya ya tentu saja pake musik klasik (dan rock). Berhasilkah cita-cita saya diwujudkan? Ternyata belum. Saat ini saya masih terlalu praktis untuk mengerjakan skripsi yang ribet, butuh perjuangan dalam eksperimen, dan tentunya persiapan reward yang besar serta waktu yang lama. Akhirnya saya malah mengerjakan skripsi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan musik. Menyesalkah? Honestly, memang ada sedikit penyesalan. Karena saya pada akhirnya kurang menikmati apa yang saya kerjakan sekarang, dan saya merasa sangat tidak termotivasi membaca jurnal. Tapi saya masih punya mimpi itu. Another research about Music and Emotional Perception? Yeah! Someday, I’ll do it! Idealisme saya harus tetep jalan kan??? ^^

Yang pasti, saya bukan musisi (walaupun saya ingin jadi musisi). Saya cuma penikmat musik. Meskipun ada satu kebiasaan yang ingin saya pertahankan. Saya ingin tetep men-donwnload score-score musik favorit saya, dan berharap suatu saat nanti bisa berlatih memainkan lagu tersebut. Saya berharap suatu hari saya nggak hanya akan mendengarkan musik instrumen dengan cerita di kepala tapi juga bisa menciptakan setidaknya satu bentuk harmonisasi yang berasal dari tangan saya. Namun untuk sekarang, saya hanya bisa melihat dan mendengarkan lewat mp3 dan video, meresapi apa yang saya dengarkan, dan pada akhirnya menjadikan lagunya menetap di playlist saya dan didengarkan setiap hari. Karena masih sering saya terharu mendengar Overture 1812. Sering juga saya terkagum-kagum dengan kejeniusan Tchaikovsky dalam Violin Concerto in D-nya atau Bach dalam Hapsichord Concerto in D minor-nya, dan saya tetap mengagumi Liszt yang bisa menciptakan harmonisasi rumit yang bahkan saking rumitnya orang bisa kurang menikmati. Satu hal yang pasti, saya jadi tahu kenapa musik klasik tidak pernah mati. Musik-musik pop bisa jadi terlupakan, tapi musik klasik adalah hasil karya kejeniusan, yang saya percaya bahkan saat ini sangat tidak banyak orang yang bisa menciptakan jenis musik seperti itu. Dan sebuah musik klasik adalah film, yang panjang, yang memiliki konflik dan resolusinya sendiri, terdiri dari beberapa movements, dengan cerita dan emosi yang berbeda di setiap movement-nya. 

Jadi, kenapa saya suka musik klasik/instrumental? Jawabannya sudah ada: Karena setiap tone punya makna dan emosi yang berbeda-beda. Dan yang terpenting, karena kita bisa belajar bercerita tanpa kata-kata, bahkan melebihi kata-kata. J

Soundtrack of the post: 30 Seconds to Mars – Hurricane; Alex Band – Only One; Apocalyptica – Not Strong Enough, Broken Pieces; The Pretty Reckless – Nothing Left to Lose, Just Tonight