Sunday, March 27, 2011

Bukan.. Ini bukan Regresi..

Akhir-akhir ini saya masih lumayan sering meneruskan hobi membaca buku-buku karya pengarang favorit saya dulu, R. L. Stine. Yep! Saya memang lagi hobi baca (kembali) Goosebumps dan Fear Street. Dikarenakan saya nggak punya bukunya (maklum, dulu kan hobinya nyewa ato pinjem temen), maka yang sekarang saya lakukan adalah mencoba download e-booknya.. Yeiy!! Bernostalgia sambil mengisi waktu yang banyak sekali lowong karena secara teknis sudah jadi pengangguran (eh, nggak ding, profesi saya kan jobseeker? ahaha). Intinya, saya mulai banyak-banyak hunting donlotan buku R. L. Stine gratis. Tapi sayangnya, sumbernya terlalu sedikit. Dan saya nggak panen banyak. Padahal kan seri Fear Street sama Goosebumps banyak banget ya.. *pouts*

Dibandingkan dengan masa lalu (wkkkkk), saya merasa nggak bernyawa baca buku-buku ini. Tidak bernyawa bukan berarti tidak menikmati. Justru ketidakbernyawaan itu sangat saya nikmati. Dulu waktu baca, cukup ada perasaan tense yang keluar (maklum, masih sangat muda), apalagi Fear Street Saga. Sekarang, saya baca lagi, rasanya sangat biasa, bahkan ceritanya gampang banget ketebak. Tapi.. justru itulah seninya. Saya merasa sedang refreshing. Cerita yang mudah ketebak ini malah kadang-kadang terdengar konyol, nggak masuk akal. Yah.. namanya juga buku anak-anak. Tapi kok saya nggak nemu Fear Street Saga gratisan di internet ya?? Padahal di antara semua seri Fear Street, Saga yang paling saya suka. Lebih horor gitu. L

Terkadang saya merasa aneh, kenapa ya saya suka baca buku petualangan anak-anak sampai sekarang? Bahkan ada beberapa yang saya beli. Ketika teman-teman saya beli chicklit, novel berat, bahkan buku non-fiksi ataupun yang isinya sangat-sangat filsafat banget, saya justru suka sekali baca buku petualangan anak-anak. Saya dulu sempat-sempatnya beli buku How To Train Your Dragon (karangan Cressida Cowell) gara-gara jatuh cinta sama filmnya. Denger kalo ceritanya beda, saya penasaran setengah mati seperti apa ceritanya. Sampai di toko buku, ternyata ada, dan tanpa pikir panjang langsung saya beli. Setelah dibaca, hmmm... saya merasa jadi anak SD (huhuhu). Bukunya bagus, tapi sangat sederhana. Saya jadi mikir, "ini buku harus saya simpen sebaik-baiknya, untuk dilungsurkan pada anak saya nanti".
Meski sekarang pas beli buku hampir selalu dipikir dulu, saya masih suka hunting buku petualangan (anak-anak) via online (baca: gratisan). Katakanlah Percy Jackson. Di salah satu toko buku impor, saya menemukan buku itu dikategorikan di area 'children'. Hmm.. padahal saya suka banget sama Percy Jackson Series. Ngumpulin dari buku 1 sampai 5, plus companion book-nya, bahkan versi audio book-nya sering saya dengarkan sebelum tidur. Rasanya kayak didongengin. Believe it or not, it helps me to fall asleep. D

Basically, saya merasa buku-buku ringan ini membantu menjernihkan pikiran yang sudah sangat penat. Terkadang di tengah membaca, akan ada suara tawa yang terselip. Tapi yang penting adalah prinsip 'membaca buku menambah ilmu'. Nggak peduli se-nggakpenting apapun bukunya, pasti akan selalu ada hal baru yang saya dipelajari. Entah tersembunyi atau terang-terangan. Entah fakta atau pemahaman.

Pesan moral dari sini: banyak-banyaklah baca buku!! *serasa jadi duta membaca*

FYI, saya masih sangat heran sama orang yang nggak suka baca buku. Bahkan ada teman saya yang liat buku tebel aja udah alergi. Oh! Oh!
Tapi semua itu kan pilihan ya? Kalo saya sih suka... J

Saturday, March 26, 2011

Pada Akhirnya Masuk Daftar Favorit Saya

Wew…
Ternyata saya udah lama absen. Yak, waktunya kembali menulis.

Beberapa hari yang lalu, saya baru nonton film yang judulnya Schindler’s List. Okay, I know. Saya telat banget nontonnya. Itu film udah buatan taun 1993, udah gitu visualisasinya black & white yang membuatnya tampak seperti film sangat jadul. Tapi pembelaan saya: saya nggak pernah nemu film itu di TV, dan saya dulu (sebelum SMA) bukan penggemar film. Jadi..  wajar-wajar saja kalo saya baru tau film ini. Lagipula rilisnya juga pas saya masih umur 4 tahun. Hee… *meringis

Oke. Lanjut ke topik.

Akhirnya saya dapat jawabannya kenapa saya nggak pernah nemu film ini diputer di channel TV kita. Satu, filmnya sadis, mayat bergelimpangan dimana-mana. Dua, filmnya rasis, Jews sangat sangat sangat sangat direndahkan di sini. Okelah, ini emang film sejarah, jadi bisa dimaklumi. Dan yang ke tiga, kejam! Saya nggak habis pikir gimana seseorang dengan gampangnya membunuh untuk bersenang-senang. Terlepas dari semua fakta yang membuat film ini dapat rating ‘R’, saya menemukan keharuan yang luar biasa di akhir cerita. I must admit, saya nggak hanya menangis di akhir film ini. Saya menangis tersedu-sedu. Mungkin bagi beberapa orang, menangis (tersedu-sedu) untuk sebuah film adalah hal yang cukup bodoh, tapi faktanya saya merasakan atmosfer adegan itu. Saat dimana seorang pebisnis yang awalnya memulai bisnis dengan memanfaatkan situasi dan korban perang berakhir menjadi sosok yang inspirasional karena keteguhannya mempertahankan orang-orang “rendah” bahkan sampai membuatnya bangkrut. Sosok yang sangat dihormati sampai-sampai Nazi sadis yang hobi membunuh orang mulai belajar tentang ide ‘memaafkan’ meskipun pada akhirnya nggak mempan juga.

Saya terpesona dengan sosok Schindler ini. Saya terpesona dengan ketulusan yang dia berikan pada orang-orang yang waktu itu dianggap menjijikkan oleh golongan tertentu, padahal sebenarnya ia berada di golongan yang sama. Saya terpesona dengan penyesalan yang ia rasakan ketika ia merasa seharusnya bisa melakukan lebih. Dan ya, ketika menulis ini, saya kembali terharu. Saya ingat musik yang dimainkan dalam adegan itu. Believe it or not, that music can ruin my day. Bisa-bisa seharian saya jadi melodramatis gara-gara ndengerin lagu itu. But yeah, this film is definitely on my list. Siapapun yang belum nonton, recommended! Emang sih.. lumayan banyak adegan kejamnya, tapi setidaknya gambar hitam-putih-nya bisa menklamufasekan darah yang banyak ‘mengalir’ di sini. :D





After all, salut untuk Steven Spielberg yang mengangkat kisah ini. Meskipun selama nonton saya ngerasain pegel-pegel (maklum, ini film durasinya 3 jam), dan bahkan sebelum mulai sudah harus berjuang mencari subtitle yang pas (bahasa Jermannya lumayan banyak euy! Aksennya juga sangat ngeblend), akhirnya puas juga. Satu hal yang saya pelajari dari film ini: Apapun yang terjadi, semua orang harus diperlakukan sama. Di masa-masa krisis perdamaian ini, sudah saatnya menerapkan diversity management. Berbeda itu indah. Dan memang begitulah adanya… :)

Saturday, March 5, 2011

Pertama Kalinya Ujian Skripsi (Chapter 2)

Oke. Lanjut ceritanya ke chapter 2

So, setelah dosen pembimbing saya masuk dengan muka yang agak horor (salah satu supporter -temen saya- mengakui kalau pertama kali liat beliau auranya memang cukup menyeramkan), beliau keluar lagi dengan langkah pasti. Hmmm.. Jangan-jangan sebel gara-gara dosen pengujinya telat semua? Maklum, DPS saya memang terkenal on-time.
Nggak lama kemudian, dosen penguji 1 (atau dosen B) datang. Bertanya kemana dosen A. Setelah saya jelaskan, beliau duduk sambil menunggu. Suasana ruangan jadi agak krik-krik. Beberapa menit kemudian, dosen C  datang dengan pertanyaan standar yang sama, kemana DPS saya. Setelah menjelaskan, dosen C duduk, ngobrol dan bersenda gurau dengan dosen B (bahkan sempat tukeran kursi segala. what the..??). Saya sih cuma bisa berdoa dalam hati, menyadari bahwa waktu saya tinggal sedikit lagi.
Mungkin kelamaan nunggu, dosen C tanya ke saya, kok dosen A nggak balik-balik? Akhirnya beliau mengajukan diri untuk nyari dosen A. Eh, pas dosen C keluar, dosen A masuk (aneh banget). Baru beberapa saat lagi dosen C muncul. Ini yang sama orang Jawa dinamakan 'tlisiban'. Dan setelah tiga-tiganya ngumpul, pembataian dimulai...

Oke. Jadi, yang pertama saya lakukan adalah presentasi. Pas diminta presentasi, jujur saya masih merasa nervous setengah mati. Entah kenapa, hal yang paling saya benci dari kuliah adalah presentasi. Tapi melihat bahwa saya nggak diperhatiin oleh ketiga dosen itu, saya jadi lebih santai. Setelah mempercepat kecepatan ngomong (karena waktu dibatasi 20 menit), dan mengakhiri presentasi dengan ngos-ngosan, saya dipersilahkan duduk. Oke. waktu itu saya berpikir, it isn't so bad (karena dosen pembimbing saya senyum dan menyuruh saya minum). Meskipun setelah itu saya melakukan hal yang bodoh dan membuat ketawa, saya bersyukur ajah. Setidaknya es-nya udah pecah. :p

Actually, kalau disuruh cerita detil prosesnya gimana, saya sudah lupa-lupa ingat. Soalnya kan emang fokus saya pas itu lebih kepada bagaimana menjawab pertanyaan tajam yang diajukan para dosen itu, jadi malah nggak ingat seluk-beluknya. Tapi intinya, saya cukup dibabat. Yang jelas, judul saya yang panjang banget itu dipermasalahkan. Jalan keluarnya, ditambahin jadi lebih panjang *sigh*. Lanjut, permasalahan saya dipertanyakan. Plus rumusan hipotesisnya.. T-T
Dan yang jelas, metode penelitian saya dibabat abis, secara dua dosen penguji adalah expert statistik. Tapi untungnya, saya bisa ngeles. Setidaknya konsep metode saya sudah bener. Cuma kurang ngeh aja.. ha! (bingung mesti)
Oh, iya. Kesimpulan dan Saran saya juga dikomentari. Pokoknya intinya adalah salah. huhuhuhu
Pada dasarnya, yang parah dari skripsi saya adalah tata tulis. Yang istilahnya nggak ajeg lah.. pemakaian kata hubung lah.. bahasa yang masih ambigu.. dan seterusnya. Cuma, yang cukup mengagetkan saya adalah ketika dosen penguji 2 atau dosen C meminta saya untuk mengganti analisis. I thought, "okay. I am so dead". FYI, sebelum ujian skripsi saya sendiri, saya menyempatkan untuk liat ujian temen saya yang dapat dosen yang sama di hari sebelumnya. Parahnya, temen saya itu juga disuruh ganti analisis. Waktu itu saya cuma mbatin, jangan sampe aku disuruh ganti analisis, eh.. ternyata malah kejadian beneran *sigh*. Nasib... Dan akhirnya, mau nggak mau saya mesti coba pake analisis baru dengan resiko:
  1. Hasilnya beda
  2. Kalau hasilnya beda, ganti pembahasan
  3. Diskusinya juga ganti
I mean, seriously. I really don't need this.
Satu-satunya yang membuat saya cukup bernafas lega adalah ketika DPS saya meminta supaya saya nggak ganti analisis. Secara terang-terangan, DPS mengasihani saya (yes!) dan menyarankan kepada dosen C untuk tetap memakai analisis semula. Tapi apa mau dikata, sang profesor yang satu lagi tetep keukeuh minta saya ganti. Jadi ya.. keluar dari ujian (dengan adanya perdebatan seru antardosen 'ganti analisis atau enggak', saya malah nggak tau jadinya ganti apa nggak. Meskipun saya disuruh maen-maen (yeah, can u believe that? maen-maen?) pake analisis yang diminta.

Overall, semuanya berjalan lancar. Meskipun saya merasa telah melakukan beberapa hal bodoh yang membuat dosen-dosen itu berdecak heran (saking anehnya mungkin), even worse, diketawain, setidaknya saya sudah merasa lega. Waktu dipanggil lagi untuk mbahas revisian, saya sempat shock karena ditawarin untuk sidang ulang. Tapi saya menolak, meskipun pas ditanya kenapa saya cuma bisa senyum-senyum GeJe. Siapa yang mau coba?? Tapi yang melegakan adalah, ketika dosen pembimbing saya tersenyum dan menyatakan kalau saya lulus, yeah! That was the best part. Sayangnya waktu itu nggak bisa langsung tau nilainya berapa (Hey, boleh aja kan kalau penasaran?? :pppp)
Menatap revisian yang diberikan, saya cukup lemes, merasa banyak. Tapi ternyata enggak juga. Apalagi pada akhirnya saya tetep pakai analisis lama (Well, that's another long story). Dan sekarang, semuanya sudah selesai pada akhirnya.

Waktu itu dalam hati, saya cuma berkata, "Congratulation. You are now a jobseeker."
Dan seperti kata teman baik saya beberapa hari yang lalu, "Selamat! Anda resmi berkubang dalam zona jobseeker!"

Oh, life.. Just another dilemma..