Saturday, March 26, 2011

Pada Akhirnya Masuk Daftar Favorit Saya

Wew…
Ternyata saya udah lama absen. Yak, waktunya kembali menulis.

Beberapa hari yang lalu, saya baru nonton film yang judulnya Schindler’s List. Okay, I know. Saya telat banget nontonnya. Itu film udah buatan taun 1993, udah gitu visualisasinya black & white yang membuatnya tampak seperti film sangat jadul. Tapi pembelaan saya: saya nggak pernah nemu film itu di TV, dan saya dulu (sebelum SMA) bukan penggemar film. Jadi..  wajar-wajar saja kalo saya baru tau film ini. Lagipula rilisnya juga pas saya masih umur 4 tahun. Hee… *meringis

Oke. Lanjut ke topik.

Akhirnya saya dapat jawabannya kenapa saya nggak pernah nemu film ini diputer di channel TV kita. Satu, filmnya sadis, mayat bergelimpangan dimana-mana. Dua, filmnya rasis, Jews sangat sangat sangat sangat direndahkan di sini. Okelah, ini emang film sejarah, jadi bisa dimaklumi. Dan yang ke tiga, kejam! Saya nggak habis pikir gimana seseorang dengan gampangnya membunuh untuk bersenang-senang. Terlepas dari semua fakta yang membuat film ini dapat rating ‘R’, saya menemukan keharuan yang luar biasa di akhir cerita. I must admit, saya nggak hanya menangis di akhir film ini. Saya menangis tersedu-sedu. Mungkin bagi beberapa orang, menangis (tersedu-sedu) untuk sebuah film adalah hal yang cukup bodoh, tapi faktanya saya merasakan atmosfer adegan itu. Saat dimana seorang pebisnis yang awalnya memulai bisnis dengan memanfaatkan situasi dan korban perang berakhir menjadi sosok yang inspirasional karena keteguhannya mempertahankan orang-orang “rendah” bahkan sampai membuatnya bangkrut. Sosok yang sangat dihormati sampai-sampai Nazi sadis yang hobi membunuh orang mulai belajar tentang ide ‘memaafkan’ meskipun pada akhirnya nggak mempan juga.

Saya terpesona dengan sosok Schindler ini. Saya terpesona dengan ketulusan yang dia berikan pada orang-orang yang waktu itu dianggap menjijikkan oleh golongan tertentu, padahal sebenarnya ia berada di golongan yang sama. Saya terpesona dengan penyesalan yang ia rasakan ketika ia merasa seharusnya bisa melakukan lebih. Dan ya, ketika menulis ini, saya kembali terharu. Saya ingat musik yang dimainkan dalam adegan itu. Believe it or not, that music can ruin my day. Bisa-bisa seharian saya jadi melodramatis gara-gara ndengerin lagu itu. But yeah, this film is definitely on my list. Siapapun yang belum nonton, recommended! Emang sih.. lumayan banyak adegan kejamnya, tapi setidaknya gambar hitam-putih-nya bisa menklamufasekan darah yang banyak ‘mengalir’ di sini. :D





After all, salut untuk Steven Spielberg yang mengangkat kisah ini. Meskipun selama nonton saya ngerasain pegel-pegel (maklum, ini film durasinya 3 jam), dan bahkan sebelum mulai sudah harus berjuang mencari subtitle yang pas (bahasa Jermannya lumayan banyak euy! Aksennya juga sangat ngeblend), akhirnya puas juga. Satu hal yang saya pelajari dari film ini: Apapun yang terjadi, semua orang harus diperlakukan sama. Di masa-masa krisis perdamaian ini, sudah saatnya menerapkan diversity management. Berbeda itu indah. Dan memang begitulah adanya… :)

No comments:

Post a Comment