Sunday, February 27, 2011

Pertama kalinya Ujian Skripsi (chapter 1)

Setelah minggu sebelumnya saya sempat ditakutkan oleh ujian skripsi, akhirnya semua terlewati juga. Persiapan yang menurut saya kurang maksimal dengan mental yang masih sering merasa parno oleh situasi serupa bagaimanapun mesti dilawan ketika hari-H datang. Yeah, I still remember that time, waktu seolah-olah berjalan lelet.

Okay, here's the story...
Pagi-pagi saya datang ke kampus dari rumah jam setengah 7 lebih dikit. Which means, sampai di kampus sekitar jam 7an. Mungkin lebih dikit, I'm not so sure.
Yang jelas, kampus sepi, secara saya langsung menuju ke gedung selatan yang hanya dipadati oleh karyawan pada jam segitu, dan langsung menuju ke gedung G lantai 2 yang akan menjadi tempat 'pembantaian'. Sebenarnya tempatnya sudah cukup familiar buat saya, mengingat saya sudah beberapa kali melihat proses 'pengganyangan' beberapa ujian, termasuk hari sebelumnya. Karena oh karena, salah satu penguji hari sebelumnya sama dengan penguji saya. Tentunya biar dapat gambaran kira-kira saya ditanya apa.. :p

Oke. Biar lebih jelas, saya cerita dulu siapa saja yang akan 'mambantai' saya waktu itu. Jadi, dari sekian banyak dosen yang bisa menjadi penguji, saya mendapatkan tiga orang dosen yang sama sekali belum pernah saya kenal sebelum saya menyentuh yang namanya skripsi. Dosen pertama, yakni dosen pembimbing saya, ada seorang profesor yang sangat disegani di kampus. Well, gambarannya adalah, bayangkan ketika saya ditanya semua teman-teman saya siapa DPS saya, dan saya jawab dosen A, rata-rata reaksinya adalah:
  1. Waoowww.. Kerennn.. / Mantep tuh! *sambil menyeringai
  2. Oh. Berjuang ya sai... 
  3. Kamu pasti berhasil!!!!
See.. I mean, siapa yang tahan kalo belom-belom udah dikasih gesture yang bikin nggak yakin sama apa yang ada di hadapan kita. Tapi ternyata oh ternyata.. Selama proses bimbingan berlangsung, semuanya berjalan baik-baik saja. Dan sesuai gelar yang disandang, yakni 'Prof. Dr.', beliau memang solutif, sangat membantu, dan ternyata tidak pengen menyusahkan kita dalam mengerjakan laporan akhir ini.

Okay, lanjut ceritanya.
So.. dosen ke dua, sebut saja adalah dosen B, adalah dosen yang tidak pernah mengajar saya. Hmmm.. Nggak terlalu tau karakteristiknya sebenernya. Tapi menurut berbagai sumber, dosen ini enak. Sebenarnya yang membuat saya agak ketar-ketir adalah, dosen satu ini dosen statistik. Jadi, tentunya ada bayangan bagaimana seorang dosen statistik menguji mahasiswa. Saya terus terang takut ditanyain yang macem-macem masalah statistik karena sejujurnya, statistik saya hancur, termasuk pemahamannya. Saya merasa sudah bodoh duluan. Tapi it's ok lah, karena masih ada dosen statistik lain yang terkesan lebih killer.
Nah, untuk dosen ke tiga, sebut saja dosen C, saya mendapatkan beliau karena adanya insiden kecil berupa salah liat jadwal. Jadi, yang dijadwalkan menguji sebenarnya adalah dosen lain. Tapi berhubung dosen tersebut berhalangan, jadinya saya dapat dosen C. Untuk kabar terakhir ini saya langsung panik. Why oh why?? Masalahnya, saya pernah diceritain kalo dosen (yang juga adalah seorang 'Prof. Dr.') ini termasuk orang yang sangat teliti. Selain itu, dosen ini juga pinter statistik. Jadi.. yah, begitulah ketakutan saya. Sesungguhnya saya juga belum pernah diajar dosen yang satu ini (teman-teman saya yang sudah pernah). Nggak ada reputasi buruk memang, justru malah bagus. Tapi terkadang yang bagus itu juga mengkhawatirkan *sigh*
Pada intinya, saya mendapatkan penguji: Dua Profesor Doktor dan dua dosen statistik. Hmm.. Cukup membuat saya bermimpi buruk. And hey, believe it or not, sebelum ujian ini saya sempat memimpikan proses jalannya ujian saya. Wow.. I called it a nightmare.

Intinya, pagi itu hari Kamis, saya sudah nongkrong di depan ruangan ujian sambil berpikir (ya, saya nggak belajar lagi). Membayangkan kira-kira nanti prosesnya bakal gimana. Sebetulnya sambil menunggu teman-teman saya yang janjinya akan datang memberikan support. Sampai-sampai, saking keliatan kayak orang aneh duduk sendirian pagi-pagi banget, salah satu karyawan kampus yang lagi bersih-bersih bertanya, "ngapain?". Setelah saya jelaskan, akhirnya pintu ruang ujian dibuka supaya saya bisa siap-siap.

And there, saya melihat 'ruang keramat' ini untuk pertama kalinya sebelum mulai ujian saya sendiri.




Sumpah rasanya aneh banget. Super degdegan. Dan super khawatir saya nanti ngomongnya bakal kacau. Saya jadi ingat salah satu teman saya bilang, "kalau deg-degan sebelum maju itu bagus, biar nanti pas kamu presentasi dan diskusi deg-degannya ilang. Kalo enggak jadinya malah kacau". Oke. Kata-kata itu saya jadikan pegangan sambil berpikir, semua akan baik-baik saja.

Akhirnya teman-teman saya datang. Sambil mencoba mengobrol ke sana kemari untuk mengalihkan ke-nervousan, saya mencoba menenangkan diri dan tertawa-tawa. Waktu berjalan terus hingga akhirnya hampir semua teman yang saya undang datang. Yeah, at least I'm not gonna do this by myself, pikir saya waktu itu. Setidaknya ketika saya di depan nanti, saya bisa menoleh pada mereka dan mencari dukungan untuk menguatkan hati. :)

Dan tiba-tiba, setelah jam menunjukkan pukul 08.00 lebih sedikit, dosen pembimbing saya datang. Berjalan dengan mantap sambil menunjukkan ekspresi yang sebenarnya mengkhawatirkan. Oh, oh, oh! Ada apa ini? Saya jadi ingat sekali waktu saya konsultasi dan beliau sedang dalam kondisi nggak mood, keluar dari ruangannya saya langsung menjerit dalam hati (tentunya karena pengalaman di dalam yang membuat sedikit trauma :p). And I thought, oh, no! I really don't need this kind of thing. Yes. Kekhawatiran saya bertambah.

Hmmmm.. terusin di chapter dua aja kali ya.. pegel juga ternyata nulis cerita ini.. ;)

(to be continued)
:D

Thursday, February 17, 2011

Pergilah ke mana Hati Membawamu

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil,
janganlah memilihnya dengan asal saja
tetapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah napas dalam-dalam
dengan penuh kepercayaan,
seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi
Berdiam diri lah, tetap hening,
dan dengarkan hatimu
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,
dan pergilah ke mana hati membawamu... 



(Taken from the book Va dove ti porta il cuore --Pergilah ke mana Hati Membawamu-- by Susanna Tamaro)

Skripsi, Oh.. Skripsi

Akhirnya tahap 'belajar' untuk sementara ini sudah mendekati garis akhir. Dari yang awalnya ribut memikirkan tema dan rancangan, sampai pusing menuliskan pembahasan, dan akhirnya mikir bikin kesimpulan (dan revisi). Memang belum bisa dikatakan 'menang' karena 'cobaan' yang sesungguhnya memang belum saya lewati. Namun setidaknya saya sudah bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya kekhawatiran saat ini sudah jauh berkurang dibandingkan pemikiran-pemikiran negatif yang dulu selalu datang hampir setiap waktu.

Apa yang saya bicarakan?
Yup! Ujian! I'm talking about 'the real final exam'. Bukan cuma ujian tentang materi yang dihafalkan beberapa hari sebelumnya, bukan pula ujian open book yang hanya menuntut kesiapan materi secara lengkap. Ujian ini ujian yang membutuhkan usaha dan doa yang ekstra. Ujian yang ini menuntut saya untuk mempertahankan apa yang saya kerjakan satu semester terakhir (sebingung apapun sebenarnya yang saya rasakan sama materinya). Well, say the magic word: skripsi!!

Mendekati 'ujian akhir', saya jadi berpikir lebih mengenai apa yang akan saya lakukan di masa mendatang. Sesuai dengan apa yang pernah saya tuliskan di essay saya dulu, saya selalu bertanya-tanya, will I get a job after graduation? Cari kerja mau nggak mau adalah satu hal yang mesti dilakukan kalo saya mau nabung biaya kuliah (lagi). Dan kesan pertama saya mengikuti Job Fair adalah, cari kerja itu susah, ribet, capek, belum lagi suasana hectic yang ditawarkan. Semua orang seakan-akan minta kerjaan. Semua unemployment tumpah di satu momen, berdesakan, dan ribut. Dan yang saya rasakan waktu itu, saya kapok.
Bukan kapok cari kerjaan, tapi lebih kapok dengan suasana yang saya lihat waktu itu. I'm not really a 'crowd' person. Saya tidak nyaman dengan keramaian dan kebisingan. Saya paling suka melakukan sesuatu dengan diam. Pikiran pertama saya waktu itu: "Mampus kalo tiap cari kerja selalu kayak gini". Yang ada sebelum maju udah patah arang duluan.

Meski begitu, saya harus tetap berjuang! Demi mendapatkan 'kenyamanan' di akhir cerita, dalam prosesnya saya harus rela berdarah-darah. Melakukan hal-hal yang nggak saya sukai untuk kemenangan di akhirnya. Sounds like fairytale, huh? But yes. Our life is our fairytale. Kita sendiri yang menulis kisahnya, kita sendiri yang menentukan takdirnya. Mau happy ending atau sad ending adalah pilihan kita. And for me, though I kinda like sad-ending story for books, I'd love to see my life in a happy ending. Dan saya sadar jalannya akan berkelok-kelok dan berbatu-batu sebelum pada akhirnya saya sampai di jalan bebas hambatan yang beraspal.

Tapi untuk mencapai itu, saya perlu menjalani langkah (hampir) terakhir ini. Langkah yang sebenarnya selalu dibilang tidak siap untuk dilakukan, langkah yang katanya adalah masa-masa living hell, atau langkah yang mau nggak mau harus dijalani kalo mau dapat gelar. And right now, I'm on my way there.

Things to do: Minta restu dari siapa pun. Berharap diberikan yang terbaik. Dan, belajar!!! :D

Come on, Ping! You can do it!! ^^