Thursday, December 31, 2015

Renungan Singkat di Akhir Tahun

Ya.. Ya.. Saya memang hampir bisa dibilang blogger murtad gara-gara kelamaan nggak nulis di blog. Tapi di penghujung tahun ini, saya jadi kepikiran sesuatu. 

Masalah hidup dan pekerjaan.
Ya, ketika dulu menjadi mahasiswa, saya nggak berpikir saya akan bekerja di bidang yang saya tekuni sekarang. Saya bahkan sama sekali tidak menyangka saya bakal terjun ke dunia PIO. Tapi nyatanya, jalan yang saya hadapi saat ini berkata demikian. Jauh berbeda dengan idealisme saya semasa kuliah dulu dimana saya "sukanya" adalah mata kuliah yang berbau klinis dan sosial. Sisanya? Nggak mbakat rasanya waktu itu. Terbukti juga dari nilai makul Pendidikan dan PIO yang cenderung di bawah yang lain. *sighs
Tapi toh sekarang apabila saya diminta masuk ke ranah klinis, saya malah bakalan kelimpungan. Bukan apa-apa, beberapa tahun mencoba mengenal diri sendiri dengan lebih dalam, saya tahu saya bukan orang yang sabaran. Dan saya bukan orang yang pas buat mencurahkan perhatian seperti di klinis. Mungkin kalo saya masuk Psikologi Klinis, saya bisa stress (walaupun belum bisa dibuktikan juga sih, soalnya kan belum pernah menjalani).

Empat tahun menjadi asesor adalah perjalanan yang seperti roller coaster buat saya. Saya masih ingat waktu pertama kali masuk kerja, saya bener-bener nggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan presentasi aja deg-degannya minta ampun di depan bos-bos saya. Saya masih cupu-cupunya. Masih kurang PD, nggak ngerti apa-apa, dan apa yang saya punya di kepala hanya teori yang bahkan kalau diminta mengaplikasikan pun saya bakalan kelabakan. Gimana enggak? Praktikum yang saya lakukan itu jauh sangat berbeda dengan tuntutan di kantor. Dari titik awal itu saya digembleng, diajari langkah-langkahnya menjadi asesor dari nol, dari mulai prinsip melakukan observasi, interview, skoring, praktek interview (yang astaghfirullah panjang sekali tahapannya supaya bisa menjadi interviewer yang maknyus di competency based), dan akhirnya diarahkan pelan-pelan menjadi PIC proyek yang langsung berhubungan dengan klien dan bertanggung jawab sama prosesnya dari awal sampai akhir. 
Ada momen-momen "saya rasanya gila" di situ. Ada momen-momen burn-out karena saking numpuknya pekerjaan dan sedikitnya orang, rasanya ini kepala dan badan mau rontok dan tidak sanggup bertahan. Setiap hari ada proses pembelajaran dan pencarian pengalaman. Setiap komunikasi yang saya lakukan dengan klien adalah langkah saya untuk belajar dan mencermati apa yang harus saya lakukan di situasi-situasi tertentu. Ya, pengalaman itu nggak bisa bohong. Pengalaman adalah titik dimana kita bisa tahu kalau klien nanya ini jawabannya apa, atau kalau mereka bargain seperti ini kira-kira apa yang harus kita tawarkan, dll. Dan saya juga bisa merasakan bedanya; dulu yang awalnya saya culun banget sampai-sampai semua langkah harus dikonfirmasikan dan dikoreksi si bos dulu, sampai sekarang yang kewenangan hampir selalu diberikan ke saya untuk proyek-proyek sendiri, asal laporan. 

Ada nggak sih kebosanan? 
Jelas ada. Apalagi di perusahaan consulting seperti tempat saya bekerja, career path saya tidak mungkin akan berjalan lebih jauh seperti di perusahaan kantoran lain yang strukturnya lebih luas dan jelas (meskipun secara jobdesc kerjaan saya bisa jadi bertambah dan berkembang dari waktu ke waktu). Ini yang masih saya coba cari, ke mana saya mau jalan? Nggak mungkin saya jalan di tempat. Nggak mungkin ada yang mau seperti itu. Tapi bukan berarti saya langsung akan lari tanpa arah dan tujuan kan?
Saya bukan orang yang suka pindah-pindah pekerjaan sebenarnya. Meskipun saya orangnya bosenan, tapi saya juga ada tendensi untuk berada dalam comfort zone di waktu-waktu tertentu. Dan ini juga karakter dalam diri saya yang ingin saya rubah. Saya mau lebih berani mengambil resiko. Saya nggak mau jadi so-so dan cenderung melakukan hal yang sama berulang-ulang. Untuk orang yang bisa berempati dengan character differences masing-masing orang, saya harus akui saya mendapatkan challenge tersendiri untuk hal yang satu ini. Dan yang pasti, saya masih punya keinginan untuk belajar terus. Karena otak saya masih setengah kopong dan belum ada apa-apanya.

Di penghujung tahun ini, keinginan saya nggak muluk-muluk. Saya nggak niat bikin resolusi sih, saya cuma ingin kualitas hidup saya meningkat di tahun depan. Bisa dari mimpi saya yang pada akhirnya kesampaian, atau aktualisasi diri yang bisa terpenuhi dalam hal karir dan kehidupan pribadi saya. Intinya, saya ingin menjadi orang yang bahagia. Nggak usah jadi orang paling kaya atau paling sukses lah.. Tapi ketika saya melihat orang lain (contohnya teman) yang hidupnya keliatan keren dan merasa tidak ingin bertukar tempat dengan mereka, saat itulah saya bisa menyatakan bahwa saya bahagia. Sulit kah? Semoga tidak. Dan semoga impian saya pelan-pelan akan tercapai tahun depan dan dimudahkan jalannya. Bismillah.. 

Happy New Year, everyone! And 2016, here I come~ :)


Saturday, September 12, 2015

(I Want To) Make A Memory

Keputusan untuk menonton Bon Jovi tanggal 11 September ini langsung terbesit di kepala setelah saya liat iklannya di internet. Bayangan Jon Bon Jovi bikin saya jadi semangat dan niat nonton. Dan akhirnya, setelah berhasil mempengaruhi teman saya untuk nonton, kami rencanakan pembelian tiketnya pada hari-H penjualannya dimulai.
Agak susah sih waktu itu nyarinya. Karena ternyata dari opsi penjual tiket resminya, tidak ada nama supplier tiket yang sudah biasa saya pakai jasanya. Akhirnya, setelah kami berdua bahu-membahu dan saling memberikan informasi, dapatlah info yang lebih lengkap termasuk harga akhir tiket setelah pajak. And who knows it would be much more expensive than I thought? -_- Pajak tiket yang biasanya cuma 10% naik jadi 15%. Tapi sudahlah.. demi Om Jon dkk.
Sebenarnya selain pengen liat frontman-nya ini, saya juga pengen banget liat Richie Sambora. Dari dulu dua orang ini merupakan definisi pribadi saya untuk bromance di panggung. Nggak tau kenapa, mereka keliatan klop banget kalau sudah beraksi. Bahkan ada kesan inseparable. Lha kok, setelah saya sudah dapat tiket, saya malah baru tahu kalau Om Richie sudah mundur dari band ini. Pupus deh harapan saya lihat bromance mereka di panggung. Hiks..

Anyway, mumpung masih agak fresh di kepala, saya akan coba jabarkan apa yang terjadi selama konser. Mungkin biar lebih beralur, saya ceritakan dari awal saya berangkat.

Jadi, saya berangkat dari kosan sekitar jam 3. Niatnya. Tapi apa daya harus mundur karena berkali-kali saya coba order Go-jek, eh.. nggak dapet-dapet sinyalnya. Padahal saya sampai keluar rumah dan ngangkat-ngangkat hape di pinggir jalan kayak orang nggak jelas, berharap koneksi ada. Setelah setengah jam berlalu tanpa hasil, akhirnya saya memutuskan naik taksi. Pertimbangannya adalah karena pintu/gate masuk yang saya tuju belum pernah saya masuki sebelumnya. Kan kalau naksi dan driver-nya nggak tau ada GPS yang bisa membantu. Oh, fyi, karena konser ini penontonnya banyak pake banget-banget, jadi ada pembagian pintu masuk untuk pemegang tiket. Kebetulan saya waktu itu beli tiketnya di posisi Lower Tribune Left (LTL), jadi saya masuknya lewat Pintu Utara, yang deket sama TVRI. Pas nyari taksi pun sebenernya susah banget. Dan ketika dapat, meskipun armadanya bukan yang biasa saya naikin dan bukan favorit saya, saya relakan saja karena sudah sangat mepet. Untungnya masnya orangnya sangat ramah. Dan ketika saya bilang saya mau ke GBK, dia langsung nodong dan nanya apa saya mau nonton Bon Jovi. Wkwk
Anyway, saya nggak tau kenapa tapi sejauh ini, banyak banget orang yang kalau saya ajak ngobrol atau sebaliknya, mereka ada tendensi untuk curhat, termasuk driver yang nganterin saya ini. Setelah saya ditanya-tanyain sama dia dan dia tau kalau saya lulusan psikologi, saya langsung dicurhatin tentang masalah dengan mantan kekasihnya. Sempet mbatin kenapa ujug-ujug jadi curcol begitu, dan saya sempat niat bilang ke masnya, karena saya udah buka sesi konseling gratis ke dia, harusnya taksinya digratisin. Tapi apa daya.. nggak tega. *sighs*
Dan benar saja, jalanan udah mulai macet, terutama yang ke arah Senayan. Untungnya masnya jago cari jalan, termasuk lebih banyak nyari yang arah arus sebaliknya supaya nggak terlalu macet. Jadilah jam 4-an saya sudah di lokasi. Dan sebelum turun, sempat-sempatnya si supir taksi ini bilang supaya salamnya disampaikan ke Bon Jovi dan kalau boleh minta rekamannya aja. Halah..
Pas turun dari taksi dan mau nyebrang pun susah karena mobil-mobil sudah pada antri masuk dan jalanan padat sekali. Dan sampai lokasi, sudah banyak orang yang mau nonton dan bahkan dimana-mana banyak sekali yang jualan merch berbau Bon Jovi (KW pastinya), mulai dari kaos dengan tulisan macem-macem (termasuk ada yang bergambar sablonan foto personilnya), syal, masker, sampai kipas yang ada logo Bon Jovi di satu sisi dan di sisi lainnya ada gambarnya om Jon waktu masih muda. Cakep banget beneran! *salah fokus* Kadang kalau liat pengen beli sih, cuma untungnya kemarin saya masih bisa berpikir rasional dan menahan keinginan impulsif itu, terutama karena saya bukan fans fanatik yang harus punya merchandise dan segala macamnya. Kalaupun mau beli, rasanya lebih baik membeli yang asli (tapi akhirnya nggak jadi juga sih.. :p).

Karena saya masih harus menunggu teman saya sampai, saya pilih satu spot di pojokan sebelum gerbang masuk area stadion utama dan menunggu di situ. Bisa dibilang itu semacam tempat nongkrong dan banyak juga orang jualan. Tapi minusnya adalah.. dimana-mana orang pada  ngerokok (jeleknya show yang disponsori rokok juga nih), jadi mau madep kanan, kiri, depan, apa belakang, selalu aja ada asap rokok yang melayang ke muka saya. Dan orang-orang ini bukan orang-orang sensitif yang saya batuk-batuk dikit mereka langsung ngerasa. Saking parahnya, malah ada yang menghembuskan asap rokoknya ke muka saya. Woalah, pak.. Kalau mau mati ya silahkan, tapi nggak usah ajak-ajak, please.. -..-
Dan dari informasi teman saya jalanan sangat macet, terutama yang ke arah Senayan (stuck banget!), sampai-sampai jam 5 lebih dia belum sampai juga. Bahkan katanya tukang ojek yang nganterin dia pun sampai kehabisan bensin saking macetnya. Ckck. Saya sendiri udah kayak cacing kena garam yang semakin sore semakin gelisah karena sudah banyak orang yang masuk gerbang menuju stadion dan ngantri ke dalam. I mean, saya pengen banget dapat spot yang bagus, tapi mau nggak mau harus nunggu karena nggak asik juga kalau nanti saya harus menghabiskan waktu sendirian selama konser. Cengok banget kayaknya, jadi ya dibela-belain nunggu, biar ada temennya.
Setelah teman saya sampai, kami langsung menuju gate untuk masuk area stadion. Bisa dibilang penjagaan ketat. Bahkan sebelum masuk, kami benar-benar diperiksa bawa makanan sama minuman apa enggak. Karena di tas saya ada dua buah roti dan sebotol air mineral, kami akhirnya memutuskan untuk makan dulu (sambil ngisi perut ceritanya) dan menghabiskan minum sebelum masuk. Setelah lolos, tiket kami di-scan barcode-nya, untuk ngecek apakah sudah ada yang menggunakan kode itu. Baru saya tau pas sampai rumah kalau ternyata banyak banget kasus tiket palsu dan barcode yang tidak terdeteksi keasliannya. Bahkan kerugiannya bisa sampai 450 juta dan pake acara njebolin gerbang juga gara-gara mereka nggak boleh masuk. Hmm.. Ada-ada aja ya..

Di dalam pun, line antriannya banyak. Kami harus memastikan berkali-kali kalau kami antri di tempat yang benar. Untungnya antrian untuk LTL tidak sepanjang antrian Festival. Jadi kami langsung lari nyari spot duduk yang oke. Pas masuk area tribun, kami agak shock karena kami ternyata dapatnya yang bener-bener di area kiri (padahalnya ngarepnya yang masih agak di tengah). Apalagi di bagian depan tribun yang ini, pandangan kami tertutup teralis besi yang cukup annoying. Kami sempat melirik ke arah tribun sebelah kanan kami yang sudah hampir penuh, dan karena penasaran kami tanya apa itu masih area LTL atau sudah VIP. Dan jawabannya ternyata LTL. Akhirnya kami minta masnya yang kami tanya supaya nge-tag-in tempat buat kami dan kami langsung lari keluar dari area yang itu dan masuk area sebelah demi mendapatkan spot oke. Worth it banget tapi. Viewnya lebih mendingan daripada yang sebelumnya.

Konser dimulai jam 7 malam. Penyanyi pembukanya adalah Sam Tsui. Saya sebenernya belum pernah denger nama Sam Tsui sebelum ini. Tapi kata temen saya, dia ini basically adalah YouTuber yang banyak meng-cover lagu-lagu populer dan sudah punya album sendiri juga. Saya sih berharap sebenarnya dia banyak nyanyiin lagu cover-an aja biar saya bisa sing-along. Tapi apa daya, si Sam ternyata banyak menyanyikan lagunya sendiri. Jadi saya akhirnya cuma bisa goyang-goyang sambil ngikutin beat. Suaranya sih oke juga, dan penampilannya bikin saya inget sama Adam Lambert. Tapi karena saya bukan penggemar genre music yang dia nyanyikan ya jadinya buat saya masih biasa aja. Setelah sekitar 45 menit, sesi Sam Tsui selesai. Setelah itu, tiba-tiba terdengar suara Judika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua penonton langsung berdiri dan ikut menyanyi dengan khidmat.
Setelah lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, crew-crewnya Bon Jovi langsung pada keluar dan ngangkut-ngangkutin barang (Mulai dari gitar, drums, sound system, segala macem lah. Sampai soundcheck juga) diiringi backsound lagu rock jaman dulu yang saya juga nggak tau itu yang nyanyi siapa. Tapi mas di belakang saya ikut nyanyi-nyanyi sih, jadi mungkin saya yang nggak gaul. Cukup lama kami nungguin, sampai berasa ngantuk karena nggak mulai-mulai. Dan akhirnya, hampir setengah 9, lighting di panggung berubah warna menjadi biru dan sorak penonton pecah. Ya, konsernya dimulai.

Tidak ada instrumental pembuka sebelum dimulai. Tau-tau suara Om Jon terdengar dan mukanya terpampang di layar. Saya dan teman saya langsung jejeritan dan tak henti-hentinya kami nyebut karena memang sumpah, dia cakep sekali! O.O *memang kami salah fokus kadang-kadang tapi ya mau gimana lagi* Sound system-nya mantep banget! Suaranya sangat menggelegar dan atmosfer-nya masya Allah banget. Pokoknya perfect deh ah.
Lagu pembukanya adalah That’s What the Water Made Me. Lalu langsung diikuti Who Says You Can’t Go Home sama Lost Highway sebelum akhirnya Om Jon nyapa penonton pakai bahasa Indonesia. Btw, rambutnya si om terlihat sudah semakin memutih. Ya iya sih, umurnya aja udah 53 tahun. Tapi nggak papa Om, saya tetap cinta padamu.. *kenapa jadi labil begini? -_- *
Anyway, saya harus jujur kalau saya nggak 100% hafal semua lagu yang dinyanyikan di konser ini. Dari total 20 lagu, mostly saya tau, tapi ya kadang tau liriknya kadang enggak. Tapi masih bisa enjoy sih. Dan bisa dibilang saya salah satu orang yang paling heboh di barisan saya. Orang-orang di sebelah, belakang, dan depan saya persis sangat anteng. Sepanjang show mereka duduk (meskipun kalo teriak tetap dilakukan). Dan di beberapa lagu, biasanya setelah dengar intro dan sadar kalau lagu yang dimainin adalah lagu favorit saya, saya bakal langsung berdiri dan tepuk tangan, ngangkat tangan, atau jingkrak-jingkrak sepuasnya. Pokoknya heboh banget. Nggak tau deh penonton belakang saya keganggu apa enggak. Semoga enggak sih ya.. Ini kan konser. Having fun is a must! :p
Oh iya, di awal konser, saya sempet ditakut-takutin sama temen saya. Intinya, dia bilang kalau kemungkinan salah satu lagu yang saya sukai (Because We Can) nggak akan dimainin karena kurang populer dibandingin yang lain. Apalagi itu termasuk lagu baru. Saya sih sempat nggak rela dan berharap bisa dengerin lagu itu live. Tapi lama-lama agak pupus harapannya, terutama karena beberapa lagu yang populer pun nggak dimainkan. Tapi pas di lagu entah ke berapa (saya lupa) mereka memainkan intronya, dan seketika saya langsung jejeritan kayak orang gila karena seneng banget lagunya dimainin. Sebelah saya sampai kaget kayaknya. Dan sudah bisa ditebak, saya yang paling semangat nyanyinya.. =D

Full Setlist
1. That's What the Water Made Me
2. Who Says You Can't Go Home
3. Lost Highway
4. Raise Your Hands
5. You Give Love a Bad Name
6. Born to Be My Baby
7. We Don't Run
8. It's My Life
9. Because We Can
10. Someday I'll Be Saturday Night
11. What About Now
12. We Got It Goin' On
13. In These Arms
14. Wanted Dead or Alive
15. I'll Sleep When I'm Dead
16. Keep the Faith
17. Bad Medicine

Encore:
18. Runaway
19. Have a Nice Day
20. Livin' on a Prayer


Suara Om Jon powerful banget. Dari awal sampai akhir nggak terdengar berubah. Mungkin karena sudah biasa manggung dengan durasi lama berpuluh-puluh tahun lamanya, makanya jadi perfect gitu performance-nya. Saya juga suka liat aksinya di panggung yang tau-tau melakukan goyangan khas dia banget. Bikin ngakak tapi juga sangat menghibur. Di beberapa lagu, bahkan terlihat sekali koneksi antara band dengan penonton. Di lagu Wanted Dead or Alive, dari awal penonton disuruh nyanyi sampai verse pertama selesai, dan dia diem aja gitu, sambil mukanya keliatan tersentuh dan bahagia banget. Di lagu Raise Your Hands, kami semua juga diminta ngangkat tangan (sambil sedikit di lambai-lambaikan, khas banget gayanya Bon Jovi). Bahkan di beberapa lagu, refrain bagian terakhir sengaja dilama-lamain sampai penontonnya pun nyanyinya ngos-ngosan karena sambil teriak histeris. Dan yang cukup seru, mereka sempat menyanyikan lagu baru dari album yang dirilis tahun ini, judulnya We Don’t Run. Bisa dibilang lagu ini pertama kali dimainkan live di Jakarta. Jadi berasa sangat spesial juga. Dari album yang paling baru, saya sama temen saya emang paling seneng lagu yang ini, karena terdengar sangat powerful dan cocok buat menggerakkan massa.

Yang bikin penonton geger jelas single-single yang paling digemari di sini. Pertama kali stadion pecah adalah waktu mereka nyanyiin You Give Love A Bad Name. Itu pertama kalinya saya langsung loncat berdiri dan jingkrak-jingkrak. Selanjutnya, jelas It’s My Life. Pas lagu ini, stadion rasanya bergetar karena koor-nya loud banget. Dan ending-nya, sukaaaaaaaa banget! Mereka nyanyiin Bad Medicine yang juga saya tunggu-tunggu dari awal. Sebenernya udah ada feeling mereka bakal menutup konser dengan lagu yang menggelegar, dan sempat menduga Bad Medicine yang bakal dinyanyiin karena It’s My Life udah dinyanyiin. Dan ternyata benar.. :3 *berasa cenayang* Yang jelas, lagu Bad Medicine jadi lama banget karena di belakangnya mereka tambahin refrain berkali-kali sampe gempor deh nyanyinya. wkwk
Selesai lagu ke-17, panggung gelap dan semua yang nonton langsung serempak teriak “we want more!” ß kalau konser kayaknya nggak mungkin nggak ada ini. Dan akhirnya, nggak berapa lama kemudian, Om Jon nongol lagi di layar, dan sudah berganti baju. Yang tadinya vest atau semacam sleeveless leather jacket warna hitam berubah menjadi kaos biru dan jaket kulit hitam. Saya sama temen saya langsung salah fokus lagi dan berkali-kali nyebut nama Gusti Allah saking cakepnya Om Jon ini. Bahkan saya sampe ngunyel-unyel teman saya karena gemes banget dan si subjek yang sebenarnya tidak berada dalam jangkauan. Saya harus bilang kalau cakepnya Om Jon ini tidak bisa dijustifikasi lewat foto. Sumpah aslinya beneran cakep banget. Bahkan dari layar pun keliatan cakep banget. Apalagi kalau liat langsung coba?
Anyway, mereka langsung mainin Runaway, dan yang tidak terduga, setelah itu mereka melanjutkan dengan Have A Nice Day. Di sini saya juga all out. Jingkrak-jingkrak dan teriak-teriak sejadi-jadinya. Habis itu, kami nebak lagu apa lagi yang mau dimainin. Saya sempat bilang ke teman saya kalau mereka belum mainin Livin’ on A Prayer, jadi harusnya itu. Tapi eh tapi.. Om Jon tau-tau nongol sambil bawa gitar akustik dan mainin nada slow. Saya bingung ini lagu apa. Always? Tapi ternyata oh ternyata.. ini Livin’ on A Prayer versi akustik. Praktis semua yang nonton ikut nyanyi hanya diiringi dengan gitar akustik sampai saya rasanya merinding. Dan semakin lama versinya semakin keras sampai akhirnya keluar versi aslinya. Saya jejingkrakan lagi. Dan di ujung lagu ini, suara yang nonton mencapai desibel maksimal yang bisa dibayangkan. Apalagi kan nada lagu ini makin lama makin tinggi. Kelar nyanyi rasanya nafas habis, suara udah serak, tapi happy-nya maksimal juga. Habis itu udah. Selesai. Mereka salaman satu sama lain dan dadah-dadah. Nggak mungkin ditambahin lagi kalau udah begini.

credit: Bon Jovi's twitter account

credit: Bon Jovi's twitter account

Sumpah saya puas! Sukaaaaaaaa banget! Rasanya ini konser terkeren yang pernah saya tonton. Saya cuma menyesali dua hal; saya pengen lebih dekat dengan Om Jon (di tribun kejauhan Om, but I’m still not complaining), dan saya juga pengen mereka mbawain lagu Thank You for Loving Me sama All About Lovin’ You. Yah.. Maybe next time.
Oh. Dan meskipun dari tadi saya banyak histeris karena Jon Bon Jovi, secara keseluruhan Bon Jovi ini kalau diibaratkan makanan sangat maknyus. Meskipun nggak ada Om Richie, gitaris penggantinya (kalau nggak salah namanya Phil X) juga mainnya keren banget. Banyak riff-riff gitar yang bikin penonton langsung pada jejeritan saking kerennya. Drumming-nya pun mantep pake banget-banget sampai teman saya sempet heran apa drummer-nya nggak pegel mainnya. Keyboard? Jangan ditanya. Om David mainnya mantep. Pokoknya secara keseluruhan mereka keren sekali. Dan setelah tadi malam, saya bilang ke diri sendiri kalau besok-besok ada kesempatan nonton mereka lagi, saya pasti datang.

Okay. That’s it! Meskipun konser ini bukan konser paling gila yang pernah saya alami (physically and mentally), tapi dari semua sisi (konsep dan eksekusinya) ini yang paling amazing. Dan sampai sekarang pun saya masih nggak bisa move on. Playlist saya masih dipenuhi lagu-lagu Bon Jovi. Doa saya cuma satu; semoga mereka masih akan terus berkarya sampai berpuluh-puluh tahun lagi dan saya bisa nostalgia lagi dengan mereka.. :D


Thursday, September 10, 2015

Because I love "fantasy" too much

Frekuensi saya menulis blog kayaknya sudah dalam tahapan kritis. Saya baru sadar tahun ini saya cuma berhasil nulis satu postingan. Duh.. 
Rasanya pengen sebenarnya menulis hal lain selain nyeritain buku. Namun apa daya, saya lagi lebih bersemangat nulis review buku daripada yang lain, so.. bear with me, please.. 

Baru saja saya menyelesaikan satu buku karangan David Levithan yang judulnya Every Day, dan saya langsung pengen membahas buku ini. I'm excited! Kenapa? Karena temanya yang nggak biasa.




First of all, saya harus bilang kalau saya beli buku ini dengan situasi yang sangat accidental rasanya. Waktu nge-mall, mampir ke toko buku favorit saya, dan saya niat banget sebenernya beli The Book Thief. Terlepas dari filmnya yang sudah saya tonton (dan saya suka banget), rasanya pengen aja beli bukunya dan baca. Karena buat saya, semenarik apapun filmnya, buku adalah sumber informasi yang lebih kaya. Eh, tapi.. pas saya udah mau bayar bukunya, tiba-tiba di depan saya nongol sampul buku Every Day dengan tagline-nya yang waow banget, 

"Every day a different body,
Every day a different life, 
Every day in love with the same girl."

Bayangan saya waktu itu, "buset.. kok ngenes banget hidupnya orang ini". Dan saya mencoba mencari-cari cerita yang mirip, dan ternyata saya belum menemukannya. Akhirnya setelah gamang selama beberapa saat, teman saya menyarankan supaya saya beli bukunya David Levithan ini. Sebelumnya, saya kurang familiar dengan karya-karyanya. Saya juga baru tahu kalau dia bikin buku bareng John Green yang judulnya "Will Grayson, Will Grayson". Tapi udah, itu aja. Dasarnya saya nggak mbaca John Green juga sih, jadi ya begitulah..

Anyway, pas baca halaman-halaman pertama, rasanya sudah menarik banget. Saya nggak bisa lepas dari itu buku. Ceritanya sendiri terkait seorang being (saya bilang being karena saya belum bisa menyimpulkan sebenarnya tokoh utamanya itu apa) bernama A yang dari lahir, hidupnya berpindah dari satu manusia ke manusia lain. Setiap hari dia akan terbangun di tubuh yang berbeda. Bisa dibilang kayak host mungkin. Ia juga hanya bisa hinggap sekali untuk satu tubuh. Jadi nggak mungkin dia jadi orang yang sama dua kali. Selain itu, si A ini cuma bisa masuk ke tubuh orang yang umurnya sama dengan dia. Di novel, diceritakan bahwa A berumur 16 tahun, jadi ya yang dihuni sama dia tubuh remaja berusia 16 tahun semua, baik cowok maupun cewek. Saat "menghuni" satu tubuh, dia bisa mengakses memori orang tersebut sehingga bisa berpura-pura menjadi orang yang ia huni tubuhnya. Sampai suatu ketika, si A ini jatuh cinta sama seorang cewek yang namanya Rhiannon saat dia "hinggap" di tubuh cowoknya si cewek yang namanya Justin. Dari situ, A yang dari awal bisa dikatakan hidupnya standar-standar aja, jadi berubah total. Setiap hari dia kepikiran sama Rhiannon. Dan setiap pagi setelah ia bangun, hal yang dia pikirkan adalah Rhiannon, serta jarak diantara mereka. Nah kan? Gimana  kira-kira hubungan cinta yang begini? Yang bahkan ceweknya pun nggak tau kalau cowok yang ternyata dia sukai dan damba-dambakan banget ini sebenarnya bukan pacarnya? Gimana pula dia bisa jatuh cinta sama cowok yang bahkan tidak punya tubuh?

Pace buku ini cepat, jadi bacanya juga nggak bosan. Dan jelas banget kita jadi menebak ending-nya bagaimana, terutama karena banyak sekali pertanyaan terkait A itu siapa, kok bisa begitu, dan gimana akhir hubungannya dengan Rhiannon, dst. 

Endingnya cukup menyentuh, meskipun saya nggak sampai nangis (tapi hampir, dan mengingat saya baca di kantor kayaknya wajar kalau emosi agak saya tahan biar saya nggak diketawain karena tiba-tiba nangis sendiri). Tapi ada beberapa hal yang masih tidak saya temukan dalam buku ini, termasuk pertanyaan di kepala saya kenapa kok dia pindah tubuhnya ke orang-orang yang tinggalnya deket-deket situ aja. Dan kalau satu orang tidak mungkin dia "hinggapi" sekali, dan dia hanya menghuni tubuh orang yang seumuran, apa nggak habis ya hostnya? Kan kalau umurnya dari kecil sama berarti dia hanya bisa hinggap di orang-orang itu saja. Ah sudahlah..
Kalau bisa mengesampingkan beberapa pertanyaan itu, buku ini pasti menarik kok. Meskipun memang misterinya malah jadi menggelitik. Jadi berharapnya, akan ada penjelasan terkait sejarahnya A dan cara kerja hidupnya dengan lebih detil, terutama karena di akhir buku juga ada surprise lagi terkait latar belakangnya A. Dan dia akhir pun belum ada konklusi pastinya A ini makhluk apa. Dia orang kah? Apa alien? *sighs*

Dan ternyata sudah terbit buku ke duanya yang berjudul Another Day. Dan buku ini diceritakan dari sudut pandang Rhiannon, terutama ketika dia tahu kalau "cowoknya" ternyata bukan cowoknya. Saya belum baca buku ke dua sih, tapi kayaknya seru juga. Saya sangat penasaran dengan endingnya, terutama karena POV-nya A tidak bisa meng-cover situasi saat itu. 

Mungkin setelah baca buku ke dua, saya bisa tambahkan review-nya di sini. Yang penasaran, silahkan dicari dan dibaca. Sudah jadi best-seller juga ternyata ini. Saya yang telat.. -__-"

Friday, May 29, 2015

(Lagi-lagi) Balada Buku

Beberapa waktu yang lalu, setelah mampir-mampir ke situs yang banyak memberikan informasi tentang buku, secara tidak sengaja saya menemukan fakta bahwa buku satu seri A Song of Ice and Fire milik George R.R. Martin sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; A Game of Thrones. Saya kaget. Saya nggak pernah denger kabarnya, desas-desusnya, bahkan nggak punya firasat sama sekali kalau buku ini mau diterjemahin. I mean, dari ceritanya aja penuh dengan hal-hal yang biasanya di Indonesia suka disensor. Jadi, saya sama sekali tidak membayangkan buku ini bisa lolos seleksi untuk diterjemahkan. Saya tidak memikirkan fakta bahwa serial TV-nya yang digadang-gadang jadi salah satu show terbaik di televisi itu banyak penggemarnya di Indonesia. Ternyata berpengaruh juga.. -_- 

Waktu jaman-jamannya saya terobsesi dengan series ini, saya langsung menamatkan kelima buku yang sudah terbit dalam total waktu 240 jam (courtesy of reading application on android, jadi saya bisa tahu lamanya saya membaca satu buku dimana dalam kasus ini lama banget. 10 hari non-stop kalau diitung kasarannya), dan bahkan sampai menelusuri kisah sejarah sebelum buku pertamanya sampai nyari-nyari feature-feature BluRay yang bisa membuat saya lebih paham dengan konflik sebelumnya. Bahkan setiap saya selesai nonton setiap episode-nya, saya akan berdiskusi langsung dengan salah seorang teman saya yang sedikit banyak bertanggung jawab membuat saya penasaran sama series ini. Dan akhirnya, beberapa hari yang lalu, saya memutuskan untuk beli versi Bahasa Indonesianya.

Terlepas dari fakta bahwa saya sudah sempat merogoh tabungan cukup dalam demi beli buku versi aslinya, saya tetap penasaran dengan yang bahasa Indonesia. Sebelum beli jelas survey dulu, riset gimana prosesnya penerjemahannya, dan ternyata saya cukup impressed karena komunitas pecinta series ini (Westeros Indonesia) juga ikut andil di dalamnya. Dan walaupun pas baca excerpt saya merasa mendapati banyak kejanggalan karena istilah-istilah yang sudah familiar di kuping saya mendadak berubah menjadi istilah bahasa Indonesia (dan bahkan beberapa kurang pas kalau saya bilang), lama-lama setelah dibaca bagus juga deskripsinya. 

Penampakan bukunya sendiri cukup oke kalau menurut saya. Sampulnya simple, dengan mengambil gambar serigala yang iconic banget buat House Stark. Sayangnya saya agak merasa aneh dengan warnanya yang merah. Entah kenapa kalau lambangnya direwolf begitu rasanya lebih cocok pakai warna hitam atau abu-abu. But well.. I guess red is okay too.. Dan bahan covernya bukan kertas biasa, tapi semacam kertas "dove" atau apalah itu namanya (yang permukaannya bertesktur agak kasar tapi lemes). Saya punya satu buku lain dengan cover seperti ini. Dan memang lebih cool sih.. berasa nggak ringkih2 banget gitu.. :p

*too lazy to do a quick snap of my own book* sumber: bukabuku.com

Pengen baca ulang rasanya. Udah lama sekali rasanya saya baca buku yang pertama, tapi antrian buku yang harus diselesaikan masih panjang sekali. Saya bahkan belum menyelesaikan Windhaven, salah satu buku karya GRRM juga yang ceritanya oke, meskipun termasuk dalam kategori buku "kecil"-nya. Saya juga berhenti di tengah-tengah baca Travelling to Infinity-nya Jane Hawking. 1Q84-nya Haruki Murakami pun stuck di beberapa halaman setelah masuk buku tiga sampai-sampai saya agak lupa ceritanya mereka sampai mana. Kenapa akhir-akhir ini mood baca saya nggak jelas begini?? *sighs*

Anyway, tertarik banget dan sangat-sangat kepengen beli The World of Ice and Fire. Tapi harganya masih di atas 600 ribu, bahkan lebih dari harga 5 set buku pertama yang saya beli kapan itu. Udah dapet e-book-nya sih, dan ilustrasi di dalamnya mantap sekali (saya juga jatuh cinta sama visualisasi Rhaegar Targaryen di situ!!), tapi saya masih belum sanggup/kuat bacanya. Semoga bulan depan bisa beli versi print-outnya.. :3

Perlu memikirkan buku-buku mana saja yang harus saya ungsikan ke Jogja karena kosan saya sudah seperti gudang. Bahkan beberapa yang saya beli masih terbungkus plastiknya dan tidak tersentuh sama sekali. I'm the laziest book collector ever, perhaps.. =___=