Tuesday, May 24, 2011

It's (Not) A Hide-and-Seek

Semua orang memiliki tempat persembunyian. Entah dalam bentuk yang nyata maupun abstrak.

Saya ingat ketika kecil, setiap sudut rumah adalah area permainan. Di bawah meja dapur yang cukup luas, kami (saya dan teman-teman) biasa membuat kemah (atau pura-puranya rumah) yang dibuat dari kain jarik dan dijepit dengan jepitan jemuran di sana-sini. Di bawahnya kami taruh kasur, bantal, selimut, dan menjadikan area tersebut sebagai 'rumah' untuk menyempurnakan pemainan role play keluarga (bapak-ibu-anak) yang akan kami lakukan. Seharian kami bisa berada di dalam tenda. Melakukan hal-hal yang seru (saat itu); masak-masakan, nggosip (peringatan semuanya, kebiasaan nggosip adalah pembelajaran sejak dini), tidur-tiduran, dan baca komik. Kurang penerangan? Tinggal pakai senter atau lampu portabel. Jika sekarang saya melakukan hal yang sama, hmmm.. saya sendiri akan merasa agak kurang waras.
Alasan utama kami membangun tenda itu, selain untuk bermain, adalah untuk bersembunyi. Ya, tempat tertutup yang cukup gelap itu adalah persembunyian bagi kami dari orang-orang dewasa. Yang boleh masuk hanya anak-anak, teman sepermainan (dan cewek!). Saya ingat, ibu saya bahkan nggak boleh mbuka pintu tenda sekalipun.

Saya ingat ketika saya sedang bosan sendirian, bingung mau ngapain, saya akan mengambil satu buku yang bisa dijadikan bacaan dan bersembunyi di area segitiga pojok ruang tamu, dibalik sofa berwarna cokelat tua. Ruang yang sempit memang. Tapi untuk ukuran saya waktu itu (SD), lumayan juga buat duduk bersandar tembok dengan kaki ditekuk atau meringkuk. Bahkan tempat ini adalah tempat persembunyian ketika saya marahan dengan kakak atau orang tua saya. Beberapa hari yang lalu, saya coba 'masuk' pojokan itu lagi, dan ouch! Sudah nggak muat. Saya cuma bisa berdiri di sana, Bahkan untuk duduk pun nggak bisa. (laugh)

Setiap orang tentunya punya tempat persembunyian. Dari kecil, kita punya tempat dimana kita bisa melakukan apapun tanpa orang lain tahu. Tempat rahasia. Tempat kita menangis, menyembunyikan sesuatu, dan tempat kita mencari perlindungan entah dari apapun itu. Saya hampir tidak ingat bahwa dulu saya suka bersembunyi di tempat yang sempit dan gelap. Semakin kecil tempat itu, semakin aman, Syaratnya cuma satu: tempat itu harus familiar. Bahkan bersembunyi di kolong tempat tidur bisa dibilang adalah kegiatan rutin saya.

"Semua permasalahan harus dihadapi", entah sejak kapan saya mempelajari kalimat itu. Pada dasarnya, lambat laun, saya mulai berhenti bersembunyi secara harafiah dan mencoba menyelesaikan apapun yang saya alami dengan berpikir. Setidaknya ketika tiba saatnya untuk bersembunyi, saya melakukannya dengan 'persona'. Apa mungkin tempat persembunyian saya beralih? Yang dulunya bisa ditemukan di sudut-sudut rumah, sekarang hanya bisa ditemukan di sudut kepala saya dimana nggak ada seorangpun yang tahu tanpa saya ingin dia tahu. Hmm.. interesting.

Pada dasarnya, menjadi dewasa adalah berubah. Enaknya menjadi anak kecil adalah ke-simple-an hidup yang kita jalani (setidaknya buat saya). Makan, main, tidur, sekolah, main lagi. Hal yang menjemukkan mungkin hanya mengerjakan PR, belajar buat ulangan, atau marahan dengan teman. Hidup terasa ringan meskipun saat itu masalah kecil = neraka. But then, life's a playground. Semakin dewasa, permasalahan akan terus datang sesuai dengan tugas perkembangan yang kita jalani. Masalah yang dulu lebih sering dihadapi dengan cara dihindari (dan bersembunyi) sekarang harus dihadapi dengan tindakan. No action, no glory. Lucu ketika pada titik tertentu, saya merasa ingin jadi anak kecil lagi, rindu dengan ke-simple-an hidup. Padahal dulu, setengah mati saya ingin cepat tumbuh dan jadi orang dewasa.

Whatever it is, I'm in a new stage. Just say 'Hi', for God sake..
*dalam ke-galau-an yang tak berujung dan keinginan akut untuk 'bersembunyi'*

No comments:

Post a Comment