Monday, November 14, 2011

Nature Calls


Terinspirasi dari delapan jam perjalanan Jogja-Jakarta..

Yeah, saya sedang menuju tempat tujuan untuk mencari sesuap nasi. Jakarta. Tempat banyak orang berbondong-bondong untuk mengadu nasib. Tempat banyak orang datang untuk mencari kesejahteraan (yang terkadang malah bikin nasibnya nggak berubah, worse, tambah ngenes). Dan dulu, saya termasuk orang yang berpikir Jakarta akan menjadi prioritas kesekian untuk jadi tempat mengadu nasib. Faktanya, saya harus menelan ludah sendiri. Ironis memang..

Anw, perjalanan selama delapan jam dengan KA Fajar Utama ini saya tempuh dari pagi sampai sore. Ada perbedaan memang ketika naik kereta di pagi hari dibandingkan malam. Rasanya anak kecil juga tahu kalau perbedaannya terletak pada kegelapan. Yep, naik kereta di malam hari, saya nggak bisa liat pemandangan. Tapi naik kereta di pagi hari, saya jadi bisa melihat ke luar jendela, dan mencoba meresapi apa yang saya lihat di luar sana.

Oke. Mungkin memang membosankan ya, lihat ke luar jendela kereta api kalau faktanya jalanan yang dilewati adalah jalan pelosok yang isinya cuma sawaaaaaaah melulu. Memang, sepanjang perjalanan, tidak ada pohon cypress, oak, willow, atau maple maupun sycamore (dua pohon terakhir ini kandidat pohon favorit saya meskipun saya nggak pernah lihat secara langsung) yang bertebaran di negara empat musim. Sepanjang perjalanan, yang saya lihat cuma pohon kelapa, pisang, mangga, jati, dan pohon-pohon tropis (biasa) lainnya yang sering tumbuh di daerah pedesaan yang sepi, termasuk sawah-ladang yang isinya padi atau jagung.
Tapi entah kenapa ketika saya melihat keluar jendela, saya merasa ada sesuatu yang memanggil. Mungkin saya memang terlalu sensitif, tapi memang dari situ saya seolah disadarkan kalau ternyata Indonesia itu baguuuuussss banget (minus kumuhnya daerah pinggiran rel atau pemukiman padat yang kebanyakan rumahnya cuma papan-tempel-tempel). Pun saya juga merasa ada kehidupan rahasia di balik itu semua. Rasanya takjub mengamati orang-orang melakukan berbagai aktivitas dari pagi sampai sore hari. Petani memanggul cangkul dan berjalan ke sawah, bapak/ibu naik sepeda ke sawah/ladangnya, atau anak sekolah yang sedang dalam perjalanan pulang, dan yang cukup unik dan beda, ketika ada bapak-bapak yang potong rambut di persimpangan jalan, dikelilingi beberapa orang.

Ada satu magnet yang membuat saya tidak bisa melepaskan pandangan dari jendela. Setiap saya melihat seseorang melakukan sesuatu, pikiran saya selalu melayang, membayangkan skenario, kira-kira proses apa yang mereka lalui saat melakukan apa yang mereka lakukan saat itu. Selain orang, pemandangan sawah pun bisa memukau. Mulai dari membandingkan petak-petak sawah yang padinya hijaaaaauuu banget, sampai terlihat seperti rumput palsu, dengan petak-petak sawah yang kering kerontang, coklat berhektar-hektar.

Ada satu keunikan yang sampai sekarang nggak pernah bisa saya lupain. Ketika melewati satu bentangan sawah yang luasnya entah berapa (saking luasnya), saya melihat satu bukit kecil, yang bentuknya kira-kira seperti satu bola dunia dibelah separo dan belahannya ditaro di tanah, dengan diameter mungkin sekitar 30 meter, di atas puncaknya ada pohon mangga besar yang rimbun dengan batang yang bercabang-cabang, dan di bawah pohon mangga itu, ada kuburan. Entah kenapa terlihat nyeni sekali.

Yeah, saya tahu itu kuburan. Cuma seberapa seringkah kita melihat satu bukit kecil dengan pohon besar di tengahnya, di tengah-tengah sawah yang luasnya sangat luas sekali itu, dan ternyata bukit kecil yang unik itu punya fungsi dobel, kuburan (selain tempat berteduh tentunya <<-bayangan tempat berteduh ini hanya imajinasi saya, tapi plis deh, sepertinya nyaman banget duduk-duduk di bawah pohon mangga itu sambil mengamati gerak-gerik orang dari atas bukit).

Oia, selain sawah, yang bertebaran banyak sekali adalah lahan kuburan (beberapa dengan banyak pohon kamboja di sekitarnya). Yah, secara kan sistem pentreatment-an orang meninggal di Indonesia lebih condong ke penguburan (ada nggak sih orang Indonesia yang dikremasi? Rasanya kok aneh).

Meskipun ketika berangkat cuaca cerah meriah, matahari bersinar terang, dan udara hangat (panas malah), tapi di beberapa titik, perubahan cuaca jelas terlihat. Separo perjalanan saya lewati dengan melihat mendung menggelantung di atas kereta, awan bergulung-gulung, dan di kejauhan semburat jingga terlihat sejauh mata memandang. Rasanya seperti saya sedang melihat senja, padahal saat itu bener-bener lagi tengah hari.

Intinya adalah, dari perjalanan ini, saya menemukan satu hal sederhana yang sebenarnya ketika dirasakan dengan sungguh-sungguh, tetap memberikan makna yang cukup menggugah. Setidaknya dalam hal ini, saya seratus persen yakin bisa bilang kalau tanah Indonesia itu bagus. Dibalik hingar-bingar kehidupan kota, masih banyak sekali spot-spot yang memberikan pemandangan hijau di mana-mana. Belum lagi ketika dicombo dengan cuaca dan langit yang eksotis. It's beautiful, you see..

Dan sesaat ketika saya memandang jauh ke pegunungan, memang seakan-akan alam memang berniat memanggil..

No comments:

Post a Comment