Friday, November 18, 2011

Proyek Lama ini Tiba-tiba Ada (Lagi)


Tiba-tiba nemuin tulisan yang sebenernya ditulis buat proyek blog temen saya. Cuma karena sampai sekarang ni tulisan nggak di posting, dan karena tiba-tiba saya jadi nostalgila baca ini, maka diputuskan untuk men-share tulisan (nggak) bermutu ini.. :ppp


(No) More JobSeeking

Jobseeker: sebuah kata yang terdengar cukup keren. Entah kenapa istilah-istilah bahasa asing terdengar lebih merdu di telinga. Padahal kalau kita terjemahkan bebas, saya yang menyandang status jobseeker ini sama saja dengan pengangguran. Keren kah? Not so much.

Lulus kuliah adalah salah satu cita-cita saya yang jadi prioritas. Selain karena biaya pendidikan sekarang mencekik leher, lama-lama berkutat dengan tugas kuliah adalah sesuatu yang sangat membosankan. Pada akhirnya, setelah kuliah selesai, ambisi yang harus diraih adalah bekerja. Tumbuh dalam masyarakat yang kolektif, nilai dan norma adalah sebuah aturan tidak tertulis yang mau nggak mau harus dilakukan. Dan norma orang yang suah lulus kuliah adalah kerja (kalau nggak kuliah lagi tentunya). Pemikiran seperti itu tumbuh bukan hanya karena doktrin sedari kecil, tapi juga atas dasar kebutuhan yang sekarang semakin menjadi-jadi. Hidup butuh makan, makan butuh uang, lalu darimana datangnya uang kalau nggak bekerja? Bisa saja saya berharap akan ada hujan uang, tapi sekhusyuk apapun saya berdoa tidak akan pernah terjadi hujan uang. Jadilah ambisi selanjutnya yang sesuai norma sosial itu mesti saya lakukan: bekerja.
Bayangan saya dulu, nunggu kerja setelah kuliah nggak semerana ini. Bayangan saya dulu, kekosongan waktu bisa diisi dengan hal-hal yang menyenangkan, hedon, dan bebas dari tuntutan dosen dan tenggat waktu segala macam. Nyatanya, saya tidak mempertimbangkan sebuah fakta yang harus dirasakan sembari menunggu panggilan kerja: kegalauan. Ya, hidup saya nggak tenang karena nggak dapet-dapet kerja. Yang lebih parah, orang lain seakan-akan menuntut kita segera mendapatkan kerja, kalau perlu kerja apapun, yang penting kerja. Heck, tau apa mereka? Dipikirnya saya nggak nyari kah? Dipikirnya saya nggak frustasi kah? Sudah banyak yang menilai (meskipun secara tidak langsung) saya ini useless gara-gara nggak ada kegiatan yang menghasilkan. And here it goes: curahan hati seorang jobseeker.

Kuliah di psikologi itu susah-susah gampang cari kerja yang pas. Dulu katanya, psikologi bisa kerja di mana aja, asal ada manusianya. Tetapi tetap saja tergantung perusahaan/lembaga itu butuh lulusan psikologi apa nggak. Masih juga harus menimbang apakah ilmu saya akan terpakai dengan maksimal, separoh, secuil, atau malah terbuang percuma. And I'm telling you, perusahaan-perusahaan impian yang besar dan ternama tidak selalu membutuhkan lulusan psikologi, kecuali kalau memang ada yang menerima semua jurusan. Jadinya, selain karena demand yang cukup terbatas, saya juga masih harus mempertimbangkan apakah saya mau melamar yang ini? Honestly, se-desperate-desperate-nya saya, bukan berarti setiap kerjaan yang bisa saya apply harus saya lamar. Separah apapun rerasan dan dengung bisik-bisik orang di telinga karena status 'jobless' saya, saya masih memegang prinsip: cari kerja harus yang cocok dan pas buat saya. And that's hard. So friggin' hard.
Sejauh ini saya banyak menemui perusahaan yang maunya cari tenaga yang berpengalaman. Persaingan pun tidak hanya terjadi antarteman seangkatan. Senior-senior yang kadang jadi grasshopper pun ikut jadi saingan. Pada akhirnya, ada rasa frustasi tersendiri, kalau semua perusahaan maunya cari yang berpengalaman, gimana nasib para fresh-graduate yang belum punya pengalaman seperti saya? Tidak pantaskah kami-kami ini dapat pengalaman juga? *sigh*

Rasanya campur aduk mendengar kabar yang datang dari teman seperjuangan ketika mereka akhirnya mendapatkan pekerjaan impian. Di satu sisi, rasa senang itu ada. Namun di sisi lain, rasa dominan yang timbul adalah mengasihani diri sendiri karena nasib (saya) tidak seberuntung mereka. Pemikiran 'dunia nggak adil' mungkin sudah beratus-ratus kali mengiang-ngiang di kepala saya. Namun sekeras apapun saya mengeluh, menangis, atau bahkan meratap, toh pekerjaan nggak akan tiba-tiba datang ke saya. Dan pada akhirnya saya mulai belajar untuk berhenti mengasihani diri dan membelokkan rasa frustasi itu menjadi sebuah ketangguhan. Mungkin memang sudah saatnya saya merasakan keringat yang setetes demi setetes saya keluarkan ketika berjuang mendapatkan job impian saya. Mungkin memang sudah sewajarnya saya merasakan pahitnya kerikil-kerikil keputusasaan sebelum akhirnya saya menikmati hasil jerih payah saya nanti.

Di tengah-tengah kemeranaan status saya sebagai jobseeker, saya hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, penantian saya yang sudah cukup lama ini berbuah manis. Saya memang masih bingung ketika ditanya mau kerja jadi apa. So, satu poin yang saya harapkan dari sini; mungkin lebih baik menunggu agak lama untuk mendapatkan satu job yang memang pas buat saya dan bisa menjadi perantara aktualisasi diri daripada saya langsung dapat job saat ini juga tapi harus menghadapi kemungkinan nggak cocok dan keinginan resign hanya karena terdesak status untuk menjadi employee

Well, better wait and pray ...

2 comments:

  1. hmm..kak,berarti bener ya lulusan psikologi untuk sekarang2 susah cari kerjanya?

    (padalah aq lgi ngebet bgt pengen kuliah masuk psikologi ne :/ )

    oyah,kalo boleh,sharing2 ttg psikologi dong kak !:D

    ReplyDelete
  2. Halo, Frea..
    Nggak juga sih sebenernya kalau dibilang lebih susah cari kerjanya.. Sekarang kan hampir semua orang susah cari kerja.. :p
    Kalau mau cari kerja yang pas (idealis) mungkin agak lebih susah daripada cari kerja apa aja.
    Mungkin lebih ke nilai personal aja ya.. Kualitas apa yang bisa kamu tonjolkan.
    Kalau memang minat masuk Psikologi ya masuk aja, minat itu udah jadi nilai plus. Tapi yang terpenting, apa yang kamu lakukan nanti selama jadi mahasiswa.. gitu..

    SEMANGAT! :)

    ReplyDelete